Kemunculan satwa liar di pinggir hutan menjadi penanda ketidakberesan yang sedang dihadapi alam. Permasalahan keseimbangan rantai makanan dan konversi wilayah jelajahnya menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
KOMPAS/YOLA SASTRA—Harimau sumatera Putra Singgulung memakan daging sapi di kandang perawatan Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya yang dikelola Yayasan Arsari Djojohadikusumo di Nagari Lubuk Besar, Kecamatan Asam Jujuhan, Dharmasraya, Sumatera Barat, Senin (27/7/2020) malam. Harimau jantan berusia sekitar setahun ini dievakuasi BKSDA Sumbar dari Nagari Gantuang Ciri, Kecamatan Kubung, Solok, Senin (29/6/2020), karena berulang kali masuk perladangan bersama saudaranya, Putri Singgulung, dan induknya.
Rentetan kasus konflik antara harimau dan manusia di sejumlah wilayah di Sumatera memerlukan penanganan serius dengan kolaborasi multipihak. Kehadiran satwa liar di pinggiran hutan pun seharusnya menjadi penanda alam bagi manusia bahwa terdapat berbagai gangguan dialami satwa, baik kekurangan pakan di dalam hutan maupun area jelajahnya yang diubah menjadi peruntukan lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terdapat 23 kasus konflik harimau yang terjadi hingga pertengahan tahun 2020. Data tersebut dihimpun dari laporan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) di sejumlah daerah.
Aceh menjadi wilayah dengan konflik harimau terbanyak, yakni 8 kasus, disusul 7 kasus di Riau, 3 kasus di Bengkulu-Lampung, 2 kasus di Sumatera Utara, dan masing-masing 1 kasus di Sumatera Barat, Jambi, serta Sumatera Selatan.
”Ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan rantai makanan dan kehilangan habitat. Kemungkinan juga masih ada masalah perburuan yang benar-benar harus diatasi dengan Dirjen Penegakan Hukum,” ujar Direktur Jenderal KSDAE-KLHK Wiratno dalam webinar ”Global Tiger Day”, Rabu (29/7/2020).
Sepanjang tahun 2020, BKSDA di sejumlah daerah juga telah melakukan upaya penyelamatan harimau Sumatera yang terlibat konflik dengan manusia. Sejumlah lokasi penyelamatan harimau tersebut antara lain di Muara Enim (Sumatera Selatan), Subulussalam (Aceh), Indagiri Hilir (Riau), Solok (Sumatera Barat), dan Aceh Selatan (Aceh).
Setelah ditangkap, harimau tersebut direhabilitasi di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya, Sumatera Barat. Rehabilitasi dilakukan agar harimau dapat beradaptasi dengan kehidupan liar sebelum dilepaskan ke hutan.
Wiratno menjelaskan, dalam melakukan konservasi satwa, khususnya harimau, diperlukan upaya yang konsisten dan bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti korporasi. Salah satu hal yang bisa dilakukan korporasi adalah dengan membersihkan jerat atau jebakan harimau yang dipasang pemburu di wilayah konsesinya.
”Penegakan hukum masih terus berjalan dan pekerjaan pengawasan sangat penting untuk memenjarakan kelompok-kelompok yang sengaja berburu harimau untuk kepentingan bisnis dan ekonomi mereka,” katanya.
Kepala BBKSDA Sumatera Barat Erly Sukrismanto mengatakan, ketiadaan teknologi pendukung menjadi salah satu kendala dalam melakukan pemantauan populasi harimau. Saat ini, teknologi yang baru dimiliki BBKSDA Sumbar adalah camera trap atau kamera tersembunyi. Namun, karena jumlahnya terbatas, kamera tersebut juga baru dipasang di beberapa titik.
”Kendala ini membuat kami belum bisa menyampaikan dengan pasti berapa populasi harimau di Sumatera Barat. Semoga melalui kerja sama dengan berbagai pihak bisa dilakukan pemantauan sekaligus inventarisasi harimau,” tuturnya.
Erly menambahkan, BBKSDA Sumbar juga telah melakukan pengamanan, penjagaan, dan patroli kawasan untuk menghilangkan jerat harimau. Berkat upaya tersebut, jerat harimau yang ditemukan semakin sedikit. Sampai saat ini juga belum ada laporan harimau yang terjerat di Sumbar.
Guna menguatkan upaya konservasi, Dirjen KSDAE juga menjalin kemitraan dengan lembaga Yayasan Arsari Djojohadikusumo untuk mengelola cagar biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu, Riau. Hashim Djojohadikusumo, Ketua Yayasan Arsari Djojohadikusumo, menyatakan, selain harimau, nantinya kerja sama juga akan fokus pada konservasi satwa lain yang terancam punah, seperti primata, gajah, tapir, dan beberapa jenis burung.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 29 Juli 2020