Sekolah Alam Jadi Gerakan

- Editor

Selasa, 13 Oktober 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sekolah alam ditantang untuk jadi gerakan menyelamatkan generasi muda bangsa melalui pendidikan. Sebab, sekolah alam mendorong pendidikan yang memerdekakan anak dengan mendorong anak berkembang sesuai bakat dan minat serta membekali kecakapan hidup yang dibutuhkan di abad ke-21 ini.

Keunikan sekolah alam yang memberikan layanan pendidikan dengan cara “aneh” kini berkembang dan mulai diterima. Sekolah alam justru menyiapkan anak jadi pembelajar sejati, hidup ramah lingkungan, berpikir logis, dan berkarakter.

Ketua Jaringan Sekolah Alam Nusantara Nurul Khamdi dalam penutupan Jambore Sekolah Alam Nusantara di Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan, Senin (12/10), mengatakan, sekolah alam telah tumbuh jadi gerakan menyelamatkan generasi muda. Sebab, banyak siswa dan orangtua yang bermasalah dalam mendapatkan pendidikan yang baik merasakan dampak dari pendidikan yang ditawarkan sekolah alam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Banyak anak berkebutuhan khusus yang diakomodasi dan cocok dengan pendidikan sekolah alam. Selain itu, kemajuan abad ke-21 sudah jauh-jauh hari diantisipasi sekolah alam dengan mengutamakan berkembangnya bakat dan minat anak serta kecakapan hidup,” kata Khamdi.

Jambore Sekolah Alam Nusantara III di Laguna Helau, Kalianda, Lampung Selatan, Lampung, yang dikordinasikan Sekolah Alam Lampung dan Sekolah Alam Palembang diikuti 180 pengelola dan pendidik dari 56 sekolah alam. Jambore dua tahunan ini sebelumnya dilaksanakan di Bogor dan Lembang, Jawa Barat.

04b0da83c7ac40f1b195391abc2eedd0KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Peserta Jambore Sekolah Alam Nusantara III mengeksplorasi Anak Gunung Krakatau, Senin (12/10). Kekayaan dan keunikan alam Indonesia menjadi sumber belajar yang dikembangkan di sekolah alam.

Pada penutupan ditetapkan Jambore Sekolah Alam Nusantara IV dilaksanakan di Surabaya, Jawa Timur. “Jambore ini dilaksanakan secara rutin untuk meningkatkan ikatan emosional agar pegiat sekolah alam dari seluruh daerah saling memberi semangat dalam mengembangkan sekolah alam,” kata Khamdi yang mendirikan Sekokah Alam Ar-Ridho di Semarang.

Selama jambore, para peserta mendapatkan pengenalan peningkatan pendidikan karakter “Sekolah Alam Scout Student”. Program ini untuk memperkuat pendidikan karakter lewat outbond yang jadi ciri khas sekolah alam.

Selain itu, para peserta diajak untuk mengeksplorasi kawasan Cagar Alam Gunung Anak Krakatau. Sejumlah guru mengabadikan kunjungan langsung ini dan kondisi alam Gunung Anak Krakatau lewat video telepon seluler untuk jadi sumber belajar siswa.

Setelah itu, peserta mengeksplorasi kehidupan warga di Pulau Sebesi. Sejumlah guru dengan antusias mencari sisa-sisa karang di pinggir pantai untuk diperlihatkan kepada siswa sehingga memancing diskusi dalam belajar.

Penggagas sekolah alam, Lendo Novo, mengatakan, sekolah alam dikembangkan untuk membangun peradaban Indonesia yang lebih baik. Untuk itu, dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas secara akademik dan karakter.

“Nilai di masyarakat yang hebat itu orang yang kaya atau orang yang pintar. Tetapi orang yang berkembang dalam passion-nya sering kali diabaikan. Padahal, Indonesia yang kaya sumber daya alamnya ini butuh orang-orang yang punya passion untuk mengembangkan berbagai aspek yang sesuai bakat dan minatnya,” kata Lendo.

Pendidikan di sekolah alam, kata Lendo, mencoba mengembalikan pendidikan pada makna sejatinya. Dalam pendidikan semestinya terjadi dialektika guru dan siswa.

“Pendidikan jangan hanya dipahami sebagai sekolah dengan gedung bagus, tetapi pada makna untuk membangun peradaban lewat nilai-nilai. Karena itulah, di sekolah alam ini mengambil prinsip belajar dapat dilakukan di mana saja dan dengan siapa saja. Guru tidak terbatas pada guru di sekolah, tetapi juga maestro yang ada di masyarakat,” ujar Lendo.

ESTER LINCE NAPITUPULU

Sumber: Kompas Siang | 12 Oktober 2015

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Berita ini 19 kali dibaca

Informasi terkait

Selasa, 15 Juli 2025 - 08:43 WIB

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Anak-anak Sinar

Selasa, 15 Jul 2025 - 08:30 WIB

Fiksi Ilmiah

Kapal yang Ditelan Kuda Laut

Senin, 14 Jul 2025 - 15:17 WIB

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB