Revitalisasi komoditas perkebunan berbasis bioteknologi menunjang pencapaian target peningkatan produksi. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi memanfaatkannya, salah satunya untuk menyiapkan bibit unggul kakao.
”Bioteknologi untuk micrografting kakao secara in vitro menghasilkan bibit unggul yang lebih efisien,” kata Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi BPPT Listyani Wijayanti, Jumat (3/1), di Jakarta.
Micrografting atau penyambungan batang secara mikro pada bibit kakao mengurangi ketidaksesuaian batang atas dan bawah. Selanjutnya, bibit kakao tumbuh lebih optimal.
Pada proses produksi bibit kakao secara micrografting itu diupayakan memperoleh tanaman bebas penyakit. Selain itu, melalui kultur jaringan dihasilkan tanaman seragam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pengembangan bibit unggul berbasis bioteknologi juga dilakukan PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN). ”Kami memanfaatkan kultur jaringan,” kata Direktur Riset dan Pengembangan PT RPN Gede Wibawa.
Di laboratorium PT RPN, kultur jaringan di antaranya untuk perbanyakan bibit unggul kelapa sawit, sagu, kelapa kopyor, pisang, dan karet. Saat ini juga sedang dikembangkan perbanyakan bibit tebu melalui teknologi somatic embryogenesis.
Pertimbangan lain perlunya bibit unggul adalah semakin sempitnya lahan perkebunan. ”Karena itu, butuh kualitas bibit pohon lebih baik,” kata Listyani.
Kakao, kata dia, masih bisa menunjang kehidupan petani. Namun, masih butuh penerapan hasil riset lain. ”Kakao kita banyak ditolak ketika diekspor. Itu karena kakao dari petani yang belum difermentasikan.”
Riset pengolahan pascapanen juga perlu dikembangkan agar mudah diterapkan petani. BPPT mulai riset dan pengembangan kakao dengan serius sejak 2013.
Selain produk kakao, riset BPPT juga pada sagu di Papua dan diversifikasi jagung di Grobogan. Lalu, diversifikasi pati dari singkong dan sorgum, serta pengembangan minuman kesehatan betaglukan dari jamur tiram.
Menurut Kepala BPPT Marzan Azis Iskandar, riset agrikultur merupakan salah satu unggulan teknologi yang butuh kemitraan. Itu untuk mengatasi keterbatasan dana. (NAW/GSA)
Sumber: Kompas, 4 Januari 2013