Rektor Universitas Indonesia Prof Dr Ir Muhammad Anis kembali mengukuhkan dua guru besar bidang sosiologi dan hukum, yaitu Prof Dr Dody Prayogo dan Prof Melda Kamil Ariadno, Sabtu (3/10), di Balai Senat UI, Depok, Jawa Barat. Dody adalah guru besar ke-11 UI dan Melda adalah guru besar ke-12 UI yang dikukuhkan tahun ini. Hingga sekarang jumlah total guru besar UI mencapai 301 profesor.
Dalam pidato pengukuhannya, Dody menyampaikan pidato berjudul “Keadilan, Kesetaraan, dan Keberlanjutan Sosial dalam Hubungan Industri Tambang (Mineral dan Gas) dengan Masyarakat Lokal di Indonesia”. Ia menyoroti bagaimana fenomena relasi antara perusahaan dan masyarakat lokal industri tambang migas berubah signifikan sejak reformasi 1998 dan desentralisasi atau otonomi daerah 2004.
“Sejak reformasi, masyarakat lokal menjadi lebih ‘berdaya’ dan memiliki sense of localism yang lebih kuat dalam mengungkapkan aspirasi dan kepentingannya baik kepada pemerintah maupun perusahaan swasta di sekitarnya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Dody, terdapat tiga masalah penting dalam persoalan hubungan industri tambang migas dengan masyarakat lokal, yaitu masalah keadilan, kesetaraan dalam memperoleh manfaat kesejahteraan dan sumber ekonomi, dan jaminan atas keberlanjutan dengan adanya perubahan lingkungan akibat kegiatan tambang.
Agar tiga persoalan ini teratasi, Dody mengusulkan agar pemerintah tanggap menyempurnakan tata aturan dan mampu bertindak adil, mengupayakan adanya socially responsible corporation (SRC), yaitu bentuk perusahaan yang bertanggung jawab terhadap masyarakat lokal (tidak cukup sekadar memberikan CSR), dan membentuk masyarakat demokratik yang berperilaku institusional.
Poros maritim
Prof Melda dalam pengukuhan dirinya sebagai guru besar memaparkan pidato berjudul “Tantangan Indonesia sebagai Negara Kepulauan Terbesar untuk Menjadi Poros Maritim Dunia”.
“Presiden Joko Widodo memberikan presentasi menarik dalam forum KTT Ke-9 Asia Timur di Myanmar, 13 November 2014, yang berisi lima grand design menuju poros maritim dunia, yaitu membangun kembali budaya maritim, membangun kedaulatan pangan laut, pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, kerja sama di bidang kelautan, dan membangun kekuatan pertahanan maritim. Ini bukanlah hal yang sulit diwujudkan, tetapi suatu agenda yang besar dan membutuhkan kesiapan matang dari Indonesia untuk mewujudkannya,” paparnya.
Melda menyampaikan beberapa kendala untuk mewujudkan lima arah dasar menuju poros maritim. Pertama, hukum laut yang semestinya menjadi mata kuliah wajib di perguruan tinggi saat ini hanya diajarkan kepada beberapa mahasiswa yang mengambil peminatan hukum internasional.
Kedua, pembangunan kedaulatan pangan laut mesti dilakukan dengan mendukung nelayan meningkatkan kualitas tangkap dan intervensi pada proses pasca tangkap sehingga hasil perikanan bisa dinikmati masyarakat yang hidup jauh dari laut. Selain itu, diperlukan pula pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, kerja sama di bidang kelautan khususnya meningkatkan keaktifan Indonesia dalam peraturan perundang-undangan ataupun praktik di lapangan, dan terakhir membangun kembali kekuatan pertahanan maritim.
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas Siang | 3 Oktober 2015
————–
PENGUKUHAN GURU BESAR SOSIOLOGI
Relasi Masyarakat dan Tambang Berubah
Fenomena relasi antara perusahaan dan masyarakat lokal di kawasan industri tambang minyak dan gas berubah signifikan sejak reformasi 1998 dan otonomi daerah 2004. Masyarakat lokal menjadi lebih “berdaya” dan memiliki sense of localism lebih kuat dalam mengungkapkan aspirasi, baik kepada pemerintah maupun perusahaan swasta.
Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Sosiologi Universitas Indonesia, Sabtu (3/10), di Balai Senat UI, Depok, Jawa Barat, Dody Prayogo menyampaikan, ada tiga masalah penting dalam persoalan hubungan industri tambang migas dengan masyarakat lokal, yaitu masalah keadilan, kesetaraan dalam memperoleh manfaat kesejahteraan, dan jaminan atas keberlanjutan dengan adanya perubahan lingkungan akibat kegiatan tambang.
“Masalah keadilan berkaitan dengan persoalan akuisisi lahan, hilang/berkurangnya lahan petani, dan hilangnya sumber alam lokal. Kegiatan tambang biasanya membutuhkan lahan sangat luas. Bagi masyarakat yang bergantung pada lahan dan sumber alam, kehilangan lahan berdampak penting, yakni hilangnya tempat rujukan identitas/marga suku, kuasa wilayah kolektif, serta faktor produksi dan pekerjaan,” kata Dody dalam pidatonya, “Keadilan, Kesetaraan, dan Keberlanjutan Sosial dalam Hubungan Industri Tambang (Migas) dengan Masyarakat Lokal di Indonesia”.
Tak setara
Dalam konteks kesetaraan, terjadi ketimpangan kesejahteraan sosial antara warga perusahaan dan warga lokal di sekitarnya. Industri tambang mungkin tidak membuat masyarakat lokal menjadi lebih miskin daripada sebelumnya, tetapi menghadirkan stratifikasi sosial baru sehingga muncul ketimpangan antarkelompok sosial.
Kehadiran tambang juga berdampak pada lingkungan. “Dalam praktik tambang, prinsip ‘kehadiran satu tidak boleh meniadakan yang lain’ harus ditegakkan. Jika dampak negatif itu sulit ditiadakan, prinsip poluter pays (penghasil limbah membayar) harus diimplementasikan melalui berbagai kompensasi,” ujarnya.
Dalam kesempatan sama, Melda Kamil Ariadno dikukuhkan sebagai guru besar bidang hukum. Ia memaparkan pidato “Tantangan Indonesia sebagai Negara Kepulauan Terbesar untuk Menjadi Poros Maritim Dunia”. Rektor Universitas Indonesia Muhammad Anis mengatakan, Dody ialah guru besar UI ke-11 dan Melda ialah guru besar UI ke-12 yang dikukuhkan tahun ini. Jumlah total guru besar UI 301 orang. (ABK)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Oktober 2015, di halaman 12 dengan judul “Relasi Masyarakat dan Tambang Berubah”.