Produk Makanan dan Minuman Perlu Cantumkan Kandungan Kalori

- Editor

Selasa, 21 November 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Cegah Anak Alami Obesitas
Pengawasan produk makanan setelah diluncurkan ke pasar masih kurang. Peran aktif masyarakat untuk melaporkan produk yang kandungannya tidak sesuai ketentuan diperlukan. Ini untuk membantu pencegahan anak-anak mengonsumsi makanan tidak sehat dan terkena obesitas.

Masyarakat selama ini masih tidak mendapatkan informasi utuh kandungan gizi pada produk makanan olahan. Ini karena masih ada produk makanan dan minuman yang mencantumkan kandungan gizi yang tidak sesuai dengan yang terdapat pada bungkus makanan, atau bahkan tidak dicantumkan sama sekali.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, pengawasan makanan yang kandungan isinya tidak sesuai dengan keterangan pada bungkus atau telah kedaluwarsa membutuhkan keterlibatan konsumen. ”Pengawasan makanan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sebelum produk dipasarkan sudah baik. Tetapi, kontrol setelah produk dipasarkan perlu diperkuat,” kata Tulus, di Jakarta, Senin (20/11).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Tulus, lemahnya pengawasan membuat makanan yang tidak sehat dan kemudian dikonsumsi anak-anak masih beredar. Ini termasuk makanan yang belum mendapat izin, yang biasanya berasal dari usaha kecil dan menengah (UKM).

Dia mengatakan, keterlibatan konsumen seperti yang ada di negara lain membantu pengawasan menjadi lebih baik. Konsumen yang menemukan makanan dan minuman yang kedaluwarsa di China, khususnya susu, akan dihadiahi satu jenis makanan sehat.

Selain konsumen, pada dasarnya kesadaran dari produsen dan pengecer produk makanan juga penting. Produsen bertanggung jawab untuk menghasilkan barang sesuai dengan ketentuan BPOM. Sementara itu, pengecer mengawasi penjualan barang, seperti mengawasi tanggal kedaluwarsa dan menurunkan barang yang telah ditarik produsen.

Tren obesitas pada anak-anak semakin meningkat dari tahun ke tahun karena mereka mengonsumsi makanan yang mengandung gula dan garam yang tinggi. Berdasarkan survei pemantauan status gizi tahun 2016, jumlah anak berusia 18 tahun ke atas yang mengalami obesitas melonjak jadi 38,5 persen dari 29,2 persen pada 2014.

Tulus menilai, perlu dibuat pembatasan kadar gula, garam, atau lemak pada produk makanan yang beredar oleh Kementerian Kesehatan. Pemerintah, khususnya BPOM, dapat melakukan pengecekan sampel makanan di pasar-pasar untuk mengecek dan menjaga kualitas. Penegakan hukum kepada yang melanggar juga perlu dilakukan.

Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Eni Gustina mengatakan, Kemenkes mengadakan evaluasi dengan membandingkan pola penyakit pada anak dengan jangka waktu per 10 tahun, yaitu pada 1990, 2000, dan 2010.

Ditemukan fenomena pergeseran penyakit dari penyakit infeksi, seperti malaria, ke penyakit tidak menular, seperti diabetes, jantung, dan stroke. Penyebabnya, perubahan pola makan pada anak-anak zaman sekarang.

Mereka telah dibiasakan untuk mengonsumsi gula dan garam sejak umur satu tahun. Jika sejak kecil terbiasa mengonsumsi sesuatu, kebiasaan itu akan terbawa sampai dewasa.

Selain itu, masyarakat cenderung mengonsumsi makanan yang digoreng. Kebiasaan ini perlu diganti dengan cara direbus. ”Minyak goreng setelah dipanaskan lebih dari 20 menit mengubah lemak menjadi trans. Tubuh tidak mengenal lemak trans yang menjadi zat asing sehingga terjadi kanker,” kata Eni.

Obesitas dapat dikurangi dengan aktivitas fisik, seperti olahraga. Akan tetapi, berdasarkan Global School Health Survey 2015, hanya 60 persen anak remaja berusia 14-18 tahun di 128 kabupaten di Indonesia yang berolahraga.

Pengetahuan orangtua
Pengetahuan orangtua mengenai kandungan gizi makanan penting untuk menjaga pola makan anak sejak dini. Tingkat pendidikan di Indonesia rata-rata 8,2 tahun. Peningkatan pendidikan perlu agar upaya peningkatan derajat kesehatan berhasil.

”Orang yang di daerah kalau belanja untuk anak itu yang murah-murah. Susu kental manis diberikan kepada anak, padahal sebenarnya itu bukan susu,” ujar Eni. Kampanye yang berkesinambungan dibutuhkan agar pemahaman orangtua semakin baik dan kritis sehingga perilaku berubah.

Adapun bergesernya gaya hidup yang mementingkan kepraktisan membuat pola asuh orangtua juga berubah. Orangtua memberikan makanan kepada anak dengan memesan makanan seperti sarapan di restoran cepat saji. Padahal, pola asuh ini seperti menanam penyakit pada anak. ”Masyarakat belum paham kesehatan. (Penting) untuk menyiapkan generasi sehat pada tahun 2045 dengan menjaga kesehatan,” kata Erni. (DD13)

Sumber: Kompas,21 November 2017

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia
Perkembangan Hidup, Teknologi dan Agama
Jembatan antara Kecerdasan Buatan dan Kebijaksanaan Manusia dalam Al-Qur’an
AI di Mata Korporasi, Akademisi, dan Pemerintah
Ancaman AI untuk Peradaban Manusia
Tingkatkan Produktivitas dengan Kecerdasan Artifisial
Menilik Pengaruh Teknologi Kecerdasan Buatan dalam Pendidikan
Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 16 Februari 2025 - 09:06 WIB

Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:57 WIB

Perkembangan Hidup, Teknologi dan Agama

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:52 WIB

Jembatan antara Kecerdasan Buatan dan Kebijaksanaan Manusia dalam Al-Qur’an

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:48 WIB

AI di Mata Korporasi, Akademisi, dan Pemerintah

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:44 WIB

Ancaman AI untuk Peradaban Manusia

Berita Terbaru

Berita

Perkembangan Hidup, Teknologi dan Agama

Minggu, 16 Feb 2025 - 08:57 WIB

Berita

AI di Mata Korporasi, Akademisi, dan Pemerintah

Minggu, 16 Feb 2025 - 08:48 WIB

Berita

Ancaman AI untuk Peradaban Manusia

Minggu, 16 Feb 2025 - 08:44 WIB