Indonesia telah menjadi pengimpor gandum terbesar di dunia dengan volume 12,5 juta ton pada tahun 2017-2018. Ketergantungan pada impor terigu ini dinilai telah mengancam kedaulatan pangan nasional. Padahal, Indonesia sangat kaya dengan sumber pangan lokal.
“Proporsi gandum sebagai pangan pokok kita terus meningkat dan sekarang sudah melewati ambang kritis yang saya khawatirkan sebesar 25 persen,” kata Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa, Kamis (22/2).
Dwi yang juga Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia ini mengatakan, proporsi gandum sebagai pangan pokok di Indonesia melonjak dari 21 persen pada tahun 2015 menjadi 25,4 persen di tahun 2017. Total impor gandum Indonesia pada tahun 2017 mencapai 11,6 juta ton, di mana 3 juta ton digunakan sebagai pengganti jagung untuk pakan ternak yang telah dilarang impornya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Data terbaru dari United States Department of Agriculture (USDA), pada tahun 2017/2018, Indonesia menjadi pengimpor gandum terbesar di dunia, menggeser posisi Mesir yang secara tradisional pemakan terigu. Menurut studi USDA ini, tren peningkatan impor gandum dan produk turunannya di Indonesia, terjadi karena adanya pergeseran pola makan masyarakat.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Penjualan minyak goreng, gula pasir, tepung terigu, dan beras di Halte Bus Transjakarta Slipi Petamburan, Jakarta, Senin (29/5/2017). Penjualan ini sebagai upaya menyediakan kebutuhan pokok yang murah bagi masyarakat.
“Proporsi gandum sebagai pangan pokok kita akan terus meningkat tiap tahunnya dan 100 persen kita impor sehingga dari aspek kedaulatan pangan ini menjadi ancaman yang serius. Jika terjadi gejolak harga gandum di dunia, maka akan langsung berpengaruh bagi Indonesia,” kata Dwi.
Data terbaru dari United States Department of Agriculture (USDA), pada tahun 2017/2018 ini, Indonesia menjadi pengimpor gandum terbesar di dunia, menggeser posisi Mesir yang secara tradisional pemakan terigu. Menurut studi USDA ini, tren peningkatan impor gandum dan produk turunannya di Indonesia, terjadi karena adanya pergeseran pola makan masyarakat.
Kebijakan Pangan
Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera Tejo Wahyu Jatmiko mengatakan, terus meningkatnya konsumsi gandum di Indonesia menunjukkan kegagalan kebijakan diversifikasi pangan. Padahal, dari aspek kebijakan, telah ada Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Percepatan Pengakeragaman Konsumsi Berasis Sumber Daya Lokal. Pasal 41 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan juga telah mengamanatkan tentang penganekaragaman pangan.
“Sayangnya kebijakan ini tidak dibarengi dengan penganggaran dan berhenti menjadi jargon. Bahkan, saat ini keberagaman pangan lokal semakin terpinggirkan karena pemerintah lebih memprioritaskan padi, jagung, dan kedelai. Ragam pangan lokal tidak dianggap sama sekali,” kata dia.
Sebagaimana disebutkan ahli ketahanan pangan dari Departemen Gizi Masyarakat IPB, Drajat Martianto, Indonesia setidaknya memiliki 77 sumber karbohodrat lokal, di antaranya jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, garut, sukun, hingga pisang. Sumber-sumber bahan lokal ini rata-rata memiliki karbohidrat tinggi dan jika diolah menjadi tepung kandungannya setara dengan beras dan terigu.
Bahkan, rata-rata karbohidrat lokal ini juga memiliki serat tinggi, bebas gluten, dan indeks glikemik yang rendah sehingga cocok untuk penderita diabetes. Beberapa di antaranya, seperti jagung kuning, ubi jalar, dan ubi kayu kuning, memiliki kandungan beta karoten tinggi yang berguna sebagai antioksidan.
Menurut Tejo, pelaku usaha tepung non-terigu saat ini mulai berkembang, mulai dari tepung sorgum, garut, sagu, jagung, hingga mocaf (dari fermentasi singkong), hingga sukun. Namun demikian, kebanyakan usaha ini dilakukan industri skala kecil dengan pasokan dan kualitas yang belum stabil. Di pasaran produk tepung dari bahan lokal ini kalah dengan terigu dari gandum impor, terutama dari segi harga.
Misalnya, tepung garut di pasaran masih berkisar Rp 40 ribu per kilogram (kg), tepung mocaf Rp 15 ribu per kg, tepung sukun Rp 28 ribu per pg, dan tepung ubi ungu Rp 20 ribu per kg. Padahal, tepung terigu sekitar Rp 10 ribu per kg. “Sejauh ini tepung-tepung lokal non terigu ini baru masuk ke ceruk pasar sempit, terutama bagi masyarakat yang sadar kesehatan karena rata-rata bebas gluten,” kata Tejo.
Menurut Tejo, pemerintah seharusnya memiliki keberpihakan untuk mendorong inovasi dan produksi aneka tepung dari bahan pangan lokal agar bisa bersaing dengan gandum dan turunannya yang bea impornya sangat rendah. “Selama ini tidak ada mengurus mengenai ketersediaan pangan lokal di tingkat petani maupun mendampingi industri kecil yang memproduksinya. Padahal, jika dikembangkan, potensinya sangat besar,” ungkapnya.–AHMAD ARIF
sumber: Kompas, 23 Februari 2018