Kebutuhan gandum, terutama untuk bahan baku mi bagi penduduk Indonesia, sebagian masih dipenuhi dengan produk impor. Untuk menekan impor bahan pangan tersebut, dibuat formula dari sumber karbohidrat yang kemudian diolah dan dicetak menjadi mi. Formula itu terdiri dari sagu, jagung, dan singkong.
Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (TAB-BPPT) Soni Solistia Wirawan, Senin (11/6/2018), mengatakan, pola makan masyarakat Indonesia saat ini mulai bergeser, yakni banyak mengonsumsi mi yang dibuat dari terigu yang berbahan baku gandum.
Pola makan masyarakat Indonesia saat ini mulai bergeser, yakni banyak mengonsumsi mi yang dibuat dari terigu yang berbahan baku gandum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Konsumsi mi ini mencapai 124 kilogram per kapita per tahun dan merupakan angka yang tinggi dibandingkan dengan konsumsi beras yang rata-rata hanya 60 kg per kapita per tahun atau 50 persennya. ”Konsumsi mi instan mencapai 53 bungkus per kapita per tahun,” kata Soni.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO–Agustina memangkur sagu sambil menggendong anaknya, Lobeca, di hutan di pinggir Sungai Welderman, Distrik Kaibar, Kabupaten Mappi, Papua, Sabtu (24/8/2013).
Karena itu, kata Hardaning Pranamuda, Deputi Teknologi AgroIndustri BPPT, BPPT berupaya mengembangkan sumber daya pangan lokal lain yang memiliki keragaman yang sangat kaya dan masih belum termanfaatkan secara optimal, seperti sagu, singkong, dan jagung.
Ia mencontohkan sagu. Sagu merupakan sumber daya pangan lokal yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Saat ini luas hutan sagu di Indonesia mencapai 1,25 juta hektar, 1,2 juta hektar di antaranya di Papua. Sementara di luar Papua, yaitu di Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Kalimantan 120.000 hektar.
Hutan sagu di Papua yang telah dibudidayakan secara semikultivasi baru 14.000 hektar. Dengan 1,2 juta hektar lahan sagu, Papua mampu menghasilkan 10-20 ton sagu per hektar per tahun. Dengan demikian, diharapkan akan tersedia sumber cadangan karbohidrat 12 juta-24 juta ton per tahun.
”Cadangan sagu yang besar itu merupakan potensi bagi pangan sebagai bahan baku industri dan sebagai sumber energi. Selain sebagai sumber pangan, sagu juga diharapkan menjadi salah satu pijakan kuat bagi peningkatan kesejahteraan penduduk Papua dan Papua Barat, khususnya di Indonesia timur, agar pemerataan pembangunan nasional terus meningkat,” harap Soni.
Selain sebagai sumber pangan, sagu juga diharapkan menjadi salah satu pijakan kuat bagi peningkatan kesejahteraan penduduk Papua dan Papua Barat, khususnya di Indonesia timur.
Meski begitu ia menyadari pengembangan pemanfaatan sagu menghadapi tantangan karena lokasi terpencil dengan infrastruktur yang belum memadai untuk akses transportasi dan akses pasokan energi. ”Untuk itu, perlu diskusi bersama antara pemangku kepentingan dan masyarakat agar dicapai solusi terbaiknya supaya pemanfaatan sagu dapat menjadi salah satu sumber pangan,” ujar Soni.
Potensi sagu
Dari sagu kemudian diolah menjadi bahan makanan alternatif, yaitu beras sagu dan mi sagu. Pembuatannya ditunjang dengan mesin proses yang dirancang perekayasa BPPT. Untuk beras sagu, sebanyak 20 persen adalah tepung beras merah. Adapun mie 100 persen dari pati sagu.
Keunggulan produk pangan ini, kata Hardaning, memiliki indeks glikemik lebih rendah atau berkisar 30-50 dibandingkan dengan beras padi yang sekitar 90. Keuntungan lainnya, kandungan serat pangan dan resistant starch (pati tahan cerna) juga tinggi sehingga sangat baik dikonsumsi mereka yang berpotensi diabetes serta untuk memenuhi kebutuhan diet guna mendukung pola hidup sehat.
Beras sagu memiliki indeks glikemik lebih rendah atau berkisar 30-50 dibandingkan dengan beras padi yang sekitar 90.
”Hasil riset inovasi teknologi ini perlu lebih didorong agar dapat menjadi tulang punggung industri pangan nasional dan demi terwujudnya ketahanan pangan nasional,” ujarnya.
Pemanfaatan sagu diharapkan dapat mendukung ketahanan pangan. Saat ini berbagai masalah harus dihadapi dalam membangun ketahanan pangan, antara lain ketergantungan impor pangan yang semakin besar mencapai 70 persen, pertambahan penduduk 1,49 persen per tahun, iklim dan bencana alam, alih fungsi lahan, kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat termasuk perubahan pola makan, dan masalah keamanan pangan.
Saat ini implementasi kebijakan pemerintah di bidang diversifikasi (penganekaragaman) juga belum optimal. ”Semua masalah itu terakumulasi menjadi semakin rendahnya ketahanan pangan Indonesia,” papar Soni.–YUNI IKAWATI
Sumber: Kompas, 12 Juni 2018