Lulusan perguruan tinggi kini tidak hanya dituntut sekadar siap bekerja, tetapi perlu menjadi tenaga kerja dengan dasar pengetahuan yang kuat. Konsep ekonomi pun telah berubah, dari sebelumnya berbasis industri menjadi pengetahuan. Untuk itu, lulusan perguruan tinggi diharapkan memiliki nilai daya saing yang tinggi agar bisa bertahan di persaingan global.
DOKUMENTASI UMN–Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Muhammad Hanif Dhakiri saat berorasi ilmiah dalam Sidang Senat Terbuka Wisuda XIII Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Sabtu (30/6/2018), di Tangerang Selatan, Banten. Sebanyak 288 mahasiswa diluluskan pada wisuda kali ini.
”Saya menyarankan agar kita bisa terus memperbaiki diri, berinovasi, dan meningkatkan kualitas diri. Saat ini adalah zaman persaingan. Maka dari itu, daya saing harus diperkuat,” kata Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Muhammad Hanif Dhakiri saat berorasi ilmiah dalam Sidang Senat Terbuka Wisuda XIII Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Sabtu (30/6/2018), di Tangerang Selatan, Banten. Sebanyak 288 mahasiswa diluluskan pada wisuda ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Sidang Senat Terbuka Wisuda XIII Universitas Multimedia Nusantara (UMN).
Menurut dia, tantangan saat ini adalah meningkatkan kompetensi tenaga kerja dalam hal sains, teknologi, teknik, dan matematika. Keempat faktor tersebut dinilai menjadi penopang pertumbuhan ekonomi pada masa depan.
Selain itu, kemampuan kolaborasi antara perguruan tinggi dan industri perlu diperkuat. Konsep keterkaitan dan kesepadanan (link and match) dinyatakan melalui keterlibatan industri dalam proses belajar-mengajar di lembaga pendidikan. Kurikulum yang diterapkan di perguruan tinggi juga disesuaikan dengan kebutuhan industri.
”Misalnya, di bidang teknologi informatika. Teknologi apa yang sedang digunakan di industri, itu juga yang diajarkan di perguruan tinggi. Selama ini masih ada gap yang besar antara lembaga pendidikan dan industri, yaitu sekitar 63 persen. Jadi, dari 10 tenaga kerja hanya ada 3 yang sesuai dengan kebutuhan industri,” ujar Hanif.
UMN berbenah
Rektor UMN Ninok Leksono menyampaikan, selama ini UMN telah menerapkan metode pembelajaran yang kolaboratif dengan industri. Konsep pembelajaran berbasis teknologi dan pengetahuan, serta fasilitas perkuliahan yang disesuaikan dengan standar industri telah dibentuk dalam perkuliahan.
Bentuk kolaborasi tersebut, ungkap Ninok, seperti tenaga pengajar yang berasal dari praktisi yang berpengalaman, adanya kuliah umum dengan narasumber tenaga ahli dari industri, serta pengadaan kegiatan akademik dan nonakademik yang telah disesuaikan dengan kebutuhkan industri. ”Hal ini diterapkan agar lulusan UMN bisa menjadi sumber daya manusia yang unggul dan siap bersaing,” ujarnya.
Wakil Rektor UMN Andrey Andoko mengatakan, mahasiswa juga didorong untuk berinovasi. Mahasiswa dituntun dan didampingi untuk bisa menghasilkan karya-karya inovatif berbasis teknologi yang dikembangkan dalam inkubator bisnis. Tujuannya, dari karya tersebut bisa menjadi perusahaan rintisan (start-up company) yang bernilai jual di masyarakat.
Salah satu lulusan program studi Teknik Komputer UMN Sunderi Pranata menyampaikan, semasa kuliah ia berkesempatan mengikuti program pertukaran pelajar di Tokyo Denki University (TDU) Jepang. Sunderi juga membuat aplikasi mobile penerjemah tulisan asing yang terinspirasi dari pengalaman risetnya di Jepang.
”Saat pertukaran pelajar, saya mendapatkan banyak pengalaman riset. Akhirnya, saya buat aplikasi penerjemah tulisan melalui foto, bernama Phocabulary. Dengan Phocabulary, masyarakat tidak perlu bingung apabila ada tulisan asing yang tidak dimengerti, tinggal foto saja,” kata Sunderi.
Intervensi
Hanif menambahkan, saat ini pemerintah terus berupaya agar konsep keterkaitan dan kesepadanan antara lembaga pendidikan dan industri bisa terpenuhi. Intervensi yang dilakukan adalah menggenjot pendidikan vokasi agar bisa meningkatkan lulusan yang mumpuni. ”Ada tiga hal yang masih membatasi kemampuan tenaga kerja kita, yaitu kualitas, kuantitas, dan persebaran,” katanya.
Pemerintah menargetkan, pada 2019 ada 1,4 juta tenaga kerja yang memiliki kemampuan sesuai dengan standar yang dibutuhkan. Standar tersebut akan diatur dalam sebuah sistem dan sertifikasi. Lembaga pelatihan tenaga kerja juga akan semakin dikembangkan. Industri memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelatihan bagi tenaga kerja.
”Pemerintah terus meningkatkan investasi untuk pembangunan sumber daya manusia. Semua sisi dari pembangun ketenagakerjaan dipastikan bisa tertangani,” ujarnya.
Hanif menyatakan, Indonesia memiliki potensi yang besar untuk bersaing di tingkat global, yakni basis kebudayaan yang kuat. Namun, daya olah potensi tersebut belum maksimal sehingga kurang produktif sebagai modal persaingan yang dimiliki.
Menurut dia, karakter, sifat moral, dan kinerja bangsa Indonesia bisa menjadi kunci yang bisa dimaksimalkan. Budaya Indonesia merupakan budaya yang produktif dan mau berproses.
”Dari proses pendidikan, pembangunan karakter bangsa itu harus diberikan secara tepat. Saat ini memang serba instan, tetapi generasi muda harus jadi generasi petarung bukan justru jadi generasi instan,” katanya.–DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 2 Juli 2018