Penghapusan Amdal Ciptakan Bumerang bagi Investor

- Editor

Rabu, 27 November 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Wacana pemerintah menghapus komponen izin lingkungan yaitu analisis mengenai dampak lingkungan malah bakal menjadi bumerang bagi investor, alih-alih mempermudah investasi. Amdal yang meski pelaksanaannya belum sempurna, justru perlu diperkuat sistemnya karena jadi panduan bagi investor untuk mendapatkan iklim usaha berkelanjutan karena memitigasi konflik sosial dan risiko bencana.

“Masalah hak asasi manusia, lingkungan, merupakan bagian dari iklim investasi. Justru instrumen lingkungan seharusnya didorong agar risiko lingkungan bagi pelaku usaha jadi sedikit. Cara pandang ini seharusnya dipakai pemerintah,” kata Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Senin (25/11/2019), di Jakarta.

Ia menanggapi wacana penghapusan Amdal yang kembali dimunculkan pemerintah. Kali ini Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang Surya Tjandra yang melontarkan hal tersebut (Kompas.com, 19 November 2019). Alasannya, Amdal dan Izin Mendirikan Bangunan merupakan penghambat investasi. Kontrol lingkungan diserahkan pada rencana detil tata ruang (RDTR).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bila dilihat secara historis, upaya pemerintah melemahkan kajian lingkungan untuk mempercepat pembangunan dimulai sejak Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 yang mempercepat proses izin lingkungan bagi proyek strategis nasional menjadi maksimal 60 hari. Kemudian, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 yang memberi keleluasaan pelaku usaha untuk hanya menyertakan komitmen pembuatan Amdal sebelum memulai pengerjaan proyek.

Kemudian KLHK menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24 Tahun 2018 yang mengecualikan pembuatan Amdal pada daerah-daerah yang memiliki rencana detil tata ruang. Menurut Kementerian ATR, kurang dari 10 persen dari total kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki RDTR. Daerah pada umumnya terkendala ketersediaan peta 1:5.000 sebagai dasar penyusunan RDTR (Kompas.id, 23 November 2019).

Henri mengatakan Amdal merupakan panduan bagi pelaku usaha atau investor untuk menjalankan investasi. “Buat apa ada kemudahan usaha dan investasi tinggi tapi kemudian ada masalah konflik sosial dan masalah lingkungan. Apa ini nanti tidak dihitung sebagai iklim risiko investasi,” katanya.

Salah kaprah
Secara terpisah, dalam jumpa pers, Kepala Biro Politik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Khalisah Khalid mengatakan wacana penghapusan Amdal dan IMB menunjukkan pemerintah untuk menggenjot investasi. Namun itu salah kaprah karena menjadikan upaya pencegahan kerusakan dan pencemaran lingkungan sebagai penghambat investasi yang harus dihapuskan atau dideregulasi.

“Ini sesat pikir negara yang kita tidak tahu rujukan atan referensinya bahwa regulasi lingkungan dianggap menghambat investasi. Di saat negara lain ingin memperkuat regulasi perlindungan lingkungannya, justru Indonesia mau memperlemah,” ungkapnya.

Khalisah Khalid menambahkan, wacana penghapusan Amdal dan IMB membahayakan masa depan lingkungan hidup dan rakyat di generasi kini maupun mendatang. Ia mengingatkan Indonesia yang didera berbagai bencana akibat kerusakan lingkungan seperti banjir dan tanah longsor, ini pun telah memiliki persyaratan Amdal dan IMB – di luar berbagai kelemahan dan kekurangannya dalam pelaksanaan di lapangan.

Ia tak bisa membayangkan dampaknya bila instrumen perlindungan lingkungan ini dihapus begitu saja. Menurut data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional, pada 1 Januari – 25 November 2019 terdapat 3.326 bencana yang sebagian besar di antaranya bencana “akibat ulah manusia” seperti banjir (690 kejadian), kebakaran hutan dan lahan (720 kejadian), dan tanah longsor (662 kejadian).

Bahkan selama ini bencana alam jadi sumber risiko fiskal bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN. Kerugian ekonomi langsung akibat bencana alam tahun 2000-2016 mencapai Rp 22,85 triliun per tahun. Adapun realisasi dana cadangan penanggulangan bencana pada APBN periode 2005- 2018 hanya sekitar Rp 2,5 triliun per tahun (Kompas, 23 November 2019).

Achmad Rozani, aktivis Eksekutif Nasional Walhi menambahkan Amdal merupakan instrumen pengendalian dampak lingkungan serta memberi ruang bagi keterlibatan partisipasi atau keterlibatan warga terdampak untuk menyetujui atau tidak menyetujui pelaksanaan proyek.

Maka dari itu, Amdal tak bisa digantikan dengan RDTR. Itu disebabkan RDTR mengatur terkait peruntukan ruang sedangkan Amdal memitigasi risiko dan memberikan solusi/teknologi untuk mengatasi risiko kerusakan atau pencemaran yang mungkin terjadi.

Setuju diperkuat
Pihak Wallhi dan ICEL sama-sama mengungkapkan implementasi penyusunan dan penerapan Amdal perlu diperbaiki. Mereka menyadari penyusunan Amdal acapkali rekayasa, copy paste, dan minim kontribusi masyarakat yang bakal terdampak.

Dari sisi birokrasi, mereka setuju untuk dipangkas dan disederhanakan. Namun terkait kajian ilmiah dan pengumpulan data yang diperlukan dalam penyusunan Dokumen Amdal tak bisa diganggu gugat karena aspek kehati-hatian. Pada proyek strategis nasional, Presiden memakai diskresinya melalui Perpres No 3 tahun 2016, memotong waktu penyusunan Amdal hanya menjadi 60 hari dari proses saat ini 120 – 130 hari.

Bahkan beberapa waktu lalu, Prof Hariadi Kartodihardjo Guru Besar Kehutanan IPB University menyebutkan kajiannya bersama KLHK pada tahun 2017 menemukan 32 titik moral hazard dari pemerintah, konsultan, pemrakarsa (pelaku usaha), dan masyarakat. Moral hazard tersebut ditemukan pada proses penyusunan dokumen, penilaian dokumen, penerbitan surat keputusan kelayakan lingkungan hidup, dan izin lingkungan, dan sistem terstandardisasi.

Praktik yang bermula dari celah moral hazard tersebut ditemukan berupa manipulasi peta, pemerasan, tawaran tambahan/pengurangan luas izin sebagai alat transaksional, biaya pengesahan dokumen Amdal dan Izin Lingkungan, memperlambat proses, dan proses tidak melalui Badan Koordinasi Pasar Modal (BKPM) dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), serta keberadaan konsultan sebagai arena transaksi yang telah ditunjuk pejabat tertentu.

Dengan kondisi ini, instrumen ini tak bisa serta-merta mencegah praktik yang seharusnya dilarang karena membahayakan masyarakat maupun lingkungan. Padahal izin lingkungan ini diperlukan bagi pelaku usaha untuk mendapatkan izin usaha perkebunan.

Oleh ICHWAN SUSANTO

Editor EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 26 November 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif
Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:11 WIB

Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Berita Terbaru