Pendelegasian Izin Berisiko Tinggi

- Editor

Jumat, 9 Januari 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kualitas Lingkungan Tak Akan Diturunkan
Izin lingkungan yang bersifat fundamental merupakan kunci utama untuk memastikan pembangunan di tingkat pelaksanaan aman dan dapat dikendalikan dampaknya. Jika pemberian izin didelegasikan kepada lembaga lain, dikhawatirkan bersifat prosedural formal semata.


Demikian diutarakan mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Kependudukan (1999-2001) Sonny Keraf, Kamis (8/1). ”Izin lingkungan itu untuk mengintegrasikan pembangunan ekonomi demi kesejahteraan masyarakat, sekaligus memastikan pembangunan di Indonesia berwawasan dan didasarkan pada paradigma pembangunan berkelanjutan,” paparnya.

Sementara itu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menegaskan, proses tersebut tak akan mengorbankan prinsip kehati-hatian. Persoalan teknis dalam proses izin tetap akan diolah di Kementerian LHK.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Sonny, izin lingkungan bukanlah sekadar izin formal atau kelengkapan dokumen. ”Itu perlu pembuktian dan kajian ilmiah yang memastikan pembangunan sektor dapat dikendalikan dampaknya,” katanya.

”Pesan Presiden kita tangkap; tidak boleh mempersulit izin demi percepatan pertumbuhan ekonomi. Untuk izin lain mungkin bisa, tetapi izin lingkungan ini mekanismenya rigid dan ada standar ilmiah,” tuturnya.

Apalagi dengan bencana lingkungan yang kian masif, seperti longsor. ”Mengapa justru sisi pembangunan berkelanjutan dilemahkan,” ucap Sonny.

Seiring banyaknya bencana lingkungan, pertumbuhan ekonomi tak akan bisa dinikmati karena harus membayar kerugian berupa korban manusia, materi, dan lingkungan, ”Yang mungkin tak terpulihkan. Itu bayarannya tinggi,” ujarnya.

Pendelegasian itu juga dinilai sebagai kemunduran besar dari semangat UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009.

Mengenai keberadaan pejabat Kementerian LHK di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), menurut Sonny, tetap tidak memadai. Sebab, BKPM konotasinya adalah lembaga pemberi izin administratif. Perlu ada independensi Kementerian LHK. ”Sebagai penjaga lingkungan tidak boleh dikooptasi dan diintervensi kepentingan investasi,” katanya.

Prinsip kehati-hatian tetap
Dikonfirmasi seputar kekhawatiran mengenai pendelegasian wewenang izin lingkungan ke BKPM, Siti Nurbaya meyakinkan proses itu tak akan mengorbankan proses kehati-hatian.

”Digodoknya tetap di sini (Kementerian LHK). BKPM lebih jadi kontrol, clearing house. Semangatnya kendali kontrol,” tutur Siti Nurbaya.

Ia mengatakan, proses perizinan di kementeriannya terhitung paling lama dibandingkan sektor lain. Khusus izin lingkungan, proses terlama ada dalam menyusun dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang butuh 45-105 hari.

Sementara itu Sekretaris Kementerian LHK Rasio Ridho Sani mengatakan, jajarannya sedang mengkaji tahap demi tahap proses pengurusan amdal. Tujuannya untuk melihat peluang tahapan yang bisa dipangkas atau diefisienkan waktunya.

”Namun, tidak perlu khawatir. Percepatan tidak berarti menurunkan kualitas safeguard. Tetap menjaga kualitas perlindungan lingkungan hidup. Proses kajian ilmiah dan partisipasi publik tetap ada. BKPM hanya memastikan proses-proses itu dijalankan efisien,” katanya.

Seusai bertemu Siti Nurbaya, Kepala BKPM Franky Sibarani mengatakan, ada esensi teknis pada izin lingkungan yang tak bisa dipercepat. ”Misalnya, survei lapangan atau uji laboratorium. Kalau dipercepat, dilihat lokasi atau daerahnya,” ujarnya.

Ia mengatakan, pendelegasian itu tetap menempatkan proses teknis di Kementerian LHK. ”Eksekusi izin di BKPM, tetapi regulasi dan teknis tetap mengikuti kementerian,” ucapnya.

Kementerian LHK akan menempatkan empat pejabat penghubung, dari eselon III atau IV. Satu di antaranya khusus untuk perizinan lingkungan.

Franky mengatakan, perwakilan itu diharapkan bersinergi. Hal itu agar tak terjadi lagi tumpang tindih perizinan, di mana satu lokasi dibebani izin kehutanan, perkebunan, dan pertambangan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan investasi. (ICH/ISW)

Sumber: Kompas, 9 Januari 2015

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Berita Terbaru

Artikel

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Jun 2025 - 14:32 WIB