Wilayah Pengelolaan Perikanan atau WPP 712 merupakan aera dengan sumber daya alam yang bernilai ekonomi tinggi. Produk perikanan yang menjadi andalan masyarakat setempat perlu dikelola secara berkelanjutan.
Wilayah Pengelolaan Perikanan 712 yang meliputi perairan Laut Jawa memiliki nilai ekonomi yang tinggi dengan tingkat eksploitasi yang tinggi pula. Para pelaku perikanan dan pemerintah agar bersama-sama memastikan praktik penangkapan berkelanjutan di area ini.
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 712 tak hanya mencakup daerah di Pulau Jawa, tetapi juga Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan sebagian Kalimantan Barat. Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikan (KKP) mencatat, WPP 712 seluas lebih dari 40 juta hektar (ha) dengan luas mangrove 198.313 ha, lamun 143.622 ha, dan terumbu karang 58.609 ha.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB University Luky Adrianto dalam webinar bertajuk “Penguatan Pengelolaan Perikanan WPP 712 Khususnya di Pesisir Timur Lampung”, Senin (20/7/2020) mengatakan, WPP 712 memiliki produksi perikanan yang cukup besar.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA—Nelayan membawa seember kepiting hasil tangkapan untuk dijual ke pasar ikan di Kampung Nelayan Tambaklorok, Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (20/1/2020). Selain ikan, sejumlah nelayan menangkap kepiting dan rajungan dengan harga jual relatif tinggi.
Berdasarkan kajiannya, nilai ekonomi WPP 712 mencapai Rp 94,55 triliun per tahun atau tertinggi ketiga setelah WPP 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau) dengan Rp 141,99 triliun perbtahun dan WPP 718 (perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur) dengan Rp 140,33 triliun perbtahun.
Meski demikian, sebagian besar nilai ekonomi di WPP 712 berasal dari produksi perairan dengan rasio pemanfaatan yang hampir berlebihan. Oleh karena itu, ia mendorong agar pengelolaan perikanan khususnya di WPP 712 dapat dilakukan dengan lebih efisien.
“Kita kelola produksi perairan yang secara ekologi masih memungkinkan. Bagi yang secara ekologi belum memungkinkan, kita dorong untuk konservasi dan restorasi sehingga bisa membuat kelompok ikan golongan dari merah (pemanfaatan berlebihan) menjadi kuning (pemanfaatan hampir berlebihan),” tuturnya.
Ahli pengelolaan pesisir dari Universitas Lampung Abdullah Aman Damai menambahkan, kondisi ekosistem pesisir timur Lampung saat ini berada dalam ancaman kerusakan. Hal ini disebabkan karena tutupan hutan yang semakin sedikit dan eksploitasi atau penangkapan produksi perairan yang berlebihan.
Besweni, Kepala Subdit Sumber Daya Ikan Laut Pedalaman Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP menyatakan, pedoman pengelolaan perikanan berkelanjutan telah ditegaskan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2019 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pengelola Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
“Tata kelola menjadi penting dalam mengatur sumber daya ikan yang memang mempunyai karakteristik di masing-masing WPP. Pada 2016 juga Menteri KP telah menandatangani rencana pengelolaan perikanan yang disusun dari semua stakeholder,” ujarnya.
Potensi rajungan
Besweni menyatakan bahwa WPP 712 khususnya di wilayah Lampung juga memiliki potensi perairan berupa rajungan. Sebanyak 50 persen dari produksi rajungan di Indonesia berasal dari WPP 712. Rajungan yang merupakan hewan laut sejenis kepiting ini juga menjadi sumber penghidupan bagi ribuan masyarakat dan salah satu komoditas ekspor perikanan utama di Indonesia.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP, volume ekspor rajungan pada 2018 mencapai 27.792 ton. Adapun nilai ekspornya mencapai lebih dari 472 juta dolar AS.
Namun, sama halnya dengan mayoritas wilayah lainnya, kondisi di WPP 712 juga masih memiliki permasalahan sumber daya ikan, sosial ekonomi, dan tata kelola. Permasalahan itu diantaranya kualitas data statistik perikanan tangkap yang belum memenuhi kriteria, degradasi habitat, hingga masih adanya penangkapan rajungan di bawah ukuran minimum yang boleh ditangkap.
Ia menegaskan, pengelolaan rajungan harus berkelanjutan. Sebab, ratusan ribu nelayan dan pekerja perempuan di wilayah pesisir sangat menggantungkan hidupnya dari rajungan. “Perlu pemahaman bersama bagaimana status dan berapa jumlah rajungan yang boleh dimanfaatkan,” ujarnya.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 21 Juli 2020