Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 49/KEPMEN-KP/2018 telah menetapkan ikan capungan banggai (banggai cardinalfish) sebagai jenis dilindungi secara terbatas.
Perlindungan terhadap banggai cardinalfish (BCF) sebagaimana termuat dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut adalah perlindungan terbatas berdasarkan tempat dan waktu tertentu, yakni hanya di wilayah Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah, dan hanya pada Februari-Maret dan Oktober-November.
”Hal ini sesuai dengan hasil rekomendasi LIPI dan Badan Riset Sumber Daya Kelautan dan Perikanan yang menyebutkan bahwa pada bulan tersebut BCF mengalami puncak musim pemijahan,” ungkap Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Brahmantya Satyamurti Poerwadi, Kamis (12/8/2017) di Jakarta, melalui siaran pers Kementerian Kelautan dan Perikanan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
BCF merupakan jenis ikan hias air laut endemik Indonesia. Ikan tersebut pertama kali ditemukan di perairan laut Pulau Banggai pada 1920. Selanjutnya, diketahui penyebaran endemik sangat terbatas dan sebagian besar berada di Kabupaten Banggai Kepulauan dan Banggai Laut di Provinsi Sulawesi Tengah.
Meskipun endemik, akibat pelepasan pada jalur perdagangan sebagai ikan hias, populasi introduksi BCF bisa ditemukan di lokasi lain, antara lain di perairan Luwuk, Bitung, Ambon, Kendari, Teluk Palu, dan Gilimanuk. Namun, berdasarkan hasil penelitian, BCF di Kepulauan Banggai memiliki struktur genetika tertinggi dan memiliki corak warna yang khas dibandingkan dengan jenis di luar Kepulauan Banggai.
Perdagangan BCF sebagai ikan hias dan kerusakan mikrohabitat telah mengakibatkan penurunan kepadatan populasi BCF di habitat alaminya. Badan Konservasi Dunia (IUCN) telah memasukkan BCF ke dalam daftar merah dengan kategori spesies yang terancam punah (EN).
Selanjutnya, hasil COP CITES Ke-17 telah membuat sebuah keputusan yang pada intinya mewajibkan Indonesia untuk mengimplementasikan upaya konservasi dan pengelolaan guna memastikan perdagangan internasional dapat dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip yang berkelanjutan serta melaporkan kemajuan dari upaya yang telah dilakukan pada pertemuan ke-30 Animal Committee CITES pada 2018.
Brahmantya menegaskan, keluarnya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 49/KEPMEN-KP/2018 sebagai bentuk komitmen Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengelola ikan endemik Indonesia melalui kaidah-kaidah pengelolaan secara berkelanjutan.
”Selain untuk menjaga kepentingan keberlanjutan kegiatan perikanan nasional, juga sebagai bukti bahwa Indonesia berkomitmen dalam menjaga sumber daya hayati dan lingkungannya agar BCF dapat dimanfaatkan secara lestari sampai ke generasi berikutnya,” ujarnya.
Melanjutkan pernyataan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Andi Rusandi menambahkan, BCF hidup berasosiasi dengan bulu babi dan anemon sehingga upaya pengelolaannya perlu dilakukan secara terintegrasi.
Dia juga menyampaikan pentingnya perlindungan mikrohabitat BCF melalui pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah.
Dukungan pemda
Menurut Andi, dukungan pemerintah daerah dalam upaya perlindungan BCF sangat besar pengaruhnya. Belum lama ini Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah telah melakukan pencadangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) Daerah Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan, dan Kabupaten Banggai Laut (disingkat KKP3K Daerah BANGGAI DALAKA) dengan luas kawasan mencapai 869.059,94 hektar.
Dalam waktu dekat, Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Pemprov Sulteng berkomitmen menyelesaikan penyusunan Rencana Pengelolaan dan Zonasi KKP3K Daerah BANGGAI DALAKA sebagai acuan bagi pengelola dalam melaksanakan kegiatan perlindungan, pelestarian, pemulihan, dan pemanfaatan (berkelanjutan) sumber daya kelautan dan perikanan, dalam konteks siklus pengelolaan adaptif, agar target-target pengelolaan kawasan konservasi dapat tercapai.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 12 April 2018