Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh mencabut izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-1 Aceh diapresiasi masyarakat sipil. Langkah hukum tersebut akan menyelamatkan ekosistem Leuser dari ancaman kepunahan karena pembangunan bendungan raksasa untuk PLTA Tampur-1 Aceh.
Ketua Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh Farwiza Farhan, di Jakarta, Selasa (3/9/2019), mengatakan, bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur menurut rencana akan dibangun di atas 4.000 hektar hutan primer yang menjadi habitat gajah sumatera. Gajah tersebut saat ini menjadi spesies gajah yang paling terancam di dunia.
–Gajah Sumatera bermain di sungai di kawasan Leuser, Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, 6 Mei 2017.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Saat ini gajah sumatera tersisa sekitar 500 individu. Di ekosistem Leuser sendiri jumlahnya sekitar 170 individu,” katanya.
Farwiza menyebutkan, PLTA Tampur-1 dengan skala besar juga berpotensi menyebabkan pembusukan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya. Pembusukan tersebut akan memicu keluarnya gas-gas metana dari tumbuhan yang memiliki efek rumah kaca 21 kali lebih besar daripada karbon dioksida.
”Artinya, kontribusi gas rumah kaca dari PLTA Tampur-1 dengan ukuran besar bisa saja lebih besar dari efek yang dihasilkan pembangkit listrik berbahan bakar batubara,” lanjut Farwiza.
Pada 28 Agustus 2019, majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh mengabulkan gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh untuk mencabut izin Gubernur Aceh tentang pinjam pakai kawasan hutan PLTA Tampur-1 di Kabupaten Gayo Lues, Aceh. Gubernur Aceh dianggap telah melampaui kewenangan dalam menerbitkan izin tersebut.
Direktur Eksekutif Walhi Aceh Muhammad Nur mengatakan, PT Kamirzu selaku pemegang izin tidak terbuka dalam proyek tersebut. Dia mencontohkan, PT Kamirzu belum pernah menjelaskan soal besaran bendungan yang akan dibangun di lahan seluas 4.000 hektar tersebut dan tata kelolanya.
”Jika semua lahan digunakan untuk bendungan seluruhnya, itu akan sangat menakutkan,” katanya.
Terlebih, saat ini ada sejumlah proyek pembangkit listrik di Aceh yang sedang berjalan pembangunannya. Pembangkit tersebut antara lain PLTA Peusangan, Unit Pembangkit Listrik Nagan Raya 3 dan 4, Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Krueng Raya, dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Jaboi di Sabang.
”Seharusnya selesaikan dulu pembangunan tersebut, baru memetakan berapa energi yang kurang,” ucapnya.
Saat ini, Pemerintah Aceh tengah mengajukan proses banding terkait kasus tersebut. Dalam hal ini, Walhi Aceh masih akan menunggu proses tersebut, terutama untuk mendengar alasan dan bukti baru yang disampaikan pemerintah.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko menyebutkan, izin PLTA Tampur-1 seharusnya dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Kasus ini seakan menunjukkan adanya masalah serius dalam tata kelola perizinan usaha di daerah. Ada kecenderungan, perizinan usaha tidak mengindahkan aspek lingkungan dan kemanusiaan.
Menurut dia, dari 95 pembangkit listrik yang ada di Indonesia, 51 pembangkit diketahui tidak ada transparansi dalam tata kelolanya.
”Sistem perizinan seperti ini perlu dibenahi. Selain itu, harus ada transparansi kepada masyarakat yang berpotensi terkena dampak di sana,” ujar Dadang.–FAJAR RAMADHAN
Sumber: Kompas, 3 September 2019