Kajian populasi hewan primata secara global menunjukkan 60 persen jenis di antaranya terancam punah dan 75 persen di antaranya terus mengalami penurunan. Di Indonesia, primata kunci, yaitu orangutan, sejak pertengahan tahun 2016 diturunkan statusnya dari kritis menjadi terancam punah atau selangkah menuju punah di alam.
Studi pada Science Advances berjudul “Impending extinction crisis of the world’s primates: Why primates matter” itu juga menunjukkan, populasi beberapa spesies sangat mengkhawatirkan. Gibbon hainan dari Tiongkok dilaporkan tersisa 35 ekor saja.
“Populasi spesies kukang, monyet, dan kera-seperti kukang ekor cincin, monyet udzunga, monyet yunnan, lutung kepala putih, dan gorila grauer-turun hingga beberapa ribu individu,” kata Paul Garber, satu dari 28 penulis jurnal dalam situs Seeker.com, jejaring digital ilmu pengetahuan, 18 Januari 2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari 504 spesies primata dunia, dua pertiga di antaranya ada di Indonesia, Kongo, Brasil, dan Madagaskar. Badan Konservasi Dunia (IUCN) mencatat ancaman utama primata terkait perkebunan, pembalakan, peternakan, dan perburuan.
Kajian itu juga mengakui upaya perlindungan primata butuh pendekatan solusi kesejahteraan yang bersumber dari hutan atau habitat orangutan. Perlu kesadaran peran primata bagi sistem hutan tropis dan ekowisata.
Sambil mendorong langkah itu, Russell Mittermeier, Ketua Grup Peneliti Primata pada IUCN, menekankan agar dunia fokus melindungi habitat-habitat penting primata. “Jika menunggu kita menyiapkan segala sesuatunya, primata akan hilang sebelum itu selesai,” kata dia.
Orangutan sumatera
Habitat penting orangutan sumatera (Pongo abelii) di Taman Nasional Gunung Leuser kini juga dalam ancaman. Daerah Kappi yang berstatus zona inti itu hendak diturunkan statusnya jadi zona pemanfaatan demi pembangunan infrastruktur pembangkit listrik tenaga panas bumi.
Rekomendasi dari kajian Universitas Gadjah Mada itu diprotes konsorsium LSM di Aceh. “Rekomendasi perubahan zonasi kawasan lindung yang merupakan bagian dari Kawasan Warisan Hutan Tropis Sumatera UNESCO ini akan menghancurkan zona inti di jantung Kawasan Ekosistem,” kata Farwiza Farhan, Ketua Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh.
Ia mengatakan, daerah Kappi merupakan penyedia jasa lingkungan bagi masyarakat Aceh. Risiko kehancuran itu jauh lebih tinggi dari potensi listrik berdaya relatif kecil, 142 MW, dibandingkan pilihan daerah lain yang lebih dekat dengan Banda Aceh.
Ia berharap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menolak permintaan penurunan status zona inti di Leuser itu. Ia juga meminta agar perlindungan ditingkatkan. (ICH)
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Januari 2017, di halaman 14 dengan judul “Mayoritas Primata Dunia Terancam”.