Pembatasan sosial berskala besar menjadi langkah penentu mengatasi wabah Covid-19. Karena itu, kebijakan tersebut seharusnya tidak hanya diterapkan di DKI Jakarta tetapi juga dilakukan di provinsi penyangga.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS–Beberapa tukang ojek menunggu penumpang di Terminal Induk Kilometer 6 Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu (8/4/2020). Untuk mengendalikan penyebaran penyakit Covid-19 yang disebabkan virus SARS-Cov-2 atau korona baru, Pemerintah Kota Banjarmasin memperketat pengawasan orang di terminal dan perbatasan masuk Kota Banjarmasin.
Penerapan pembatasan sosial berskala besar di Daerah Khusus Ibukota Jakarta membutuhkan partisipasi semua kalangan, termasuk dari daerah sekitarnya. Jika langkah ini gagal, penyebaran Covid-19 di wilayah Jakarta dan daerah lain bakal semakin sulit dibendung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kita sekarang berharap penerapan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) di Jakarta bisa benar-benar menekan mobilisasi warga. Jika ini tidak berhasil, kita tidak akan bisa menekan penyebaran virus,” kata Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam, di Jakarta, Rabu (8/4/2020).
Ari Fahrial, yang juga dokter praktik mengatakan, kondisi rumah sakit di Jakarta saat ini sudah kritis karena daya tampungnya kian terbatas. Sekalipun sejumlah rumah sakit swasta juga sudah disiapkan untuk merawat pasien korona, namun hal itu tetap tidak akan cukup jika kasus terus bertambah.
“Harapan kami sebagai dokter dan petugas kesehatan, PSBB akan lebih membatasi pergerakan masyarakat di luar. Kita mengetahui saat ini pembatasan fisik belum optimal mengingat jumlah kasus yang terus meningkat. Khusus untuk Jakarta jumlah peningkatan kasus mencapai 100 kasus per hari,” ungkapnya.
Selain rumah sakit rujukan yang telah dipenuhi pasien terduga dan terkonfirmasi Covid-19, setiap hari ada dokter meninggal dunia. Belum lagi ventilator juga terbatas. “Ketersediaan alat pelindung diri juga semakin menipis,” ujarnya.
Dari sudut sarana prasarana untuk diagnosis, misalnya swab untuk tenggorakan, juga semakin terbatas. Begitu pula media untuk sampel serta reagen untuk mengekstrasi RNA maupun running rt PCR juga terbatas. “Berbagai sarasa prasarana dan sumber daya manusia khususnya tenaga kesehatan juga terbatas,” kata Ari Fahrial.
Dengan segala keterbatasan ini, jika kita gagal membatasi pergerakan manusia, jumlah kasus yang terkonfirmasi juga terus meningkat secara eksponensial. “Mata rantai penularan harus diputus secepatnya,” kata dia.
Dituntut Progresif
Ahli biostatistik dan epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Pandu Riono mengatakan, kebijakan PSBB di Jakarta ini tidak akan berjalan efektif tanpa dukungan daerah-daerah lain di sekitaranya. “PSBB itu harusnya berskala nasional. Kalau pembatasan sosial hanya Jakarta itu namanya PSBJ (pembatasan sosial berskala Jakarta) dan melupakan provinsi penyangga. Sangat tidak efektif,” ujarnya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO–Lalu lintas ramai lancar di Jalan Abdullah Syafei, Jakarta Selatan, Rabu (8/4/2020). DKI Jakarta resmi menerapkan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB mulai Jumat, 10 April 2020. Segala jenis kegiatan dikurangi, kecuali delapan sektor strategis. Akses terhadap kebutuhan pokok secara rutin menjadi faktor yang harus bisa dijamin pemerintah.
Meski nantinya PSBB ini berhasil dijalankan, hal itu belum sepenuhnya menekan angka penularan kasus ke daerah-daerah, terutama jika tidak ada pembatasan orang masuk atau keluar Jakarta. “Sampai sejauh ini, langkah kita untuk menekan sebaran virus belum progresif, moderat pun belum karena tes massal juga belum jalan,” kata Pandu.
PSBB itu harusnya berskala nasional. Kalau pembatasan sosial hanya Jakarta itu namanya PSBJ (pembatasan sosial berskala Jakarta) dan melupakan provinsi penyangga. Sangat tidak efektif.
Dia mengusulkan agar Kementerian Kesehatan merevisi peraturan dalam penetapan PSBB. “Harusnya birokrasinya dipermudah, jangan malah dipersulit. Kenapa harus daerah yang mengusulkan PSBB, bukankah yang tahu data sebaran kasus juga Kemenkes,” katanya.
Dengan keterlambatan ini, Pandu khawatir, kita bakal mengalami lonjakan kasus sangat tinggi. Seperti telah dimodelkan Padu dan tim di FKM UI, jika tanpa intervensi, maka orang yang terinfeksi Covid-19 di Indonesia dengan kategori parah dan butuh layanan rumah sakit bisa mendekati 2,5 juta pada pertengahan Mei 2020. Dengan intervensi melalui anjuran menjaga jarak sosial dan membatasi kerumunan massal dengan cakupan rendah masih bisa terjadi 1,8 juta orang yang harus dirawat.
Sementara itu, intervensi moderat melalui tes massal dengan cakupan rendah dan mengharuskan jaga jarak sosial dengan penutupan seluruh kegiatan sekolah dan bisnis, maka orang yang butuh dirawat karena Covid-19 mencapai 1,2 juta orang. Dengan intervensi tertinggi, yaitu karantina wilayah untuk membatasi pergerakan dan tes massal skala luas, orang yang butuh perawatan intensif mencapai 600.000 pasien.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI–Warga melewati jalur pedestrian di area Setia Budi, Jakarta Selatan, Rabu (8/4/2020). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB mulai Jumat (10/4) hingga 14 hari ke depan untuk menekan penyebaran virus korona baru yang menyebabkan penyakit Covid-19. Selama PSBB diterapkan, delapan sektor stragis masih akan tetap berjalan, antara lain layanan kesehatan, kebutuhan pangan, komunikasi dan logistik distribusi barang.
Pandu mengingatkan, dalam menghadapi Covid-19, kita harus berkejaran dengan waktu. Semakin lambat keputusan dibuat, sebaran virus kian meluas. Misalnya, keterlambatan menutup wilayah Jabodetabek dua minggu lalu menyebabkan saat ini wabah menyebar luas hampir di seluruh wilayah Jawa, seiring dengan kepulangan pemudik.
Penggerak KawalCovid19, Ainun Najib juga mengingatkan, Covid-19 secara global terus berlipat. Dia menunjukkan data, pada 3 April lalu kasus Covid-19 telah mencapai 1 juta orang secara global.
Hal itu berarti butuh waktu 3 bulan untuk mencapai kasus Covid-19 mencapai 1 juta, namun diprediksi hanya perlu 9 hari saja kasus Covid-19 bakal mencapai tambahan 1 juta kasus lagi. “Kenapa? Itulah doubling period, atau berganda dua kali lipat dalam 9 hari. Buktinya, pada tanggal 7 April atau hanya dalam waktu 4 hari sudah bertambah kasusnya sebanyak 430.000 orang,” kata Ainun.
Menurut dia, kasus di Indonesia diperkirakan juga sudah berlipat tinggi, jauh melampui angka resmi yang diumumkan. Namun, karena pemeriksaan yang dilakukan masih sangat terbatas, angka kasus kita seolah-olah masih kecil.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 9 April 2020