Pembangunan di Indonesia harus berbasis teknologi agar menjadi negara maju. Hal itu butuh peran pendidikan tinggi berinovasi dan menghasilkan sumber daya manusia bidang iptek bermutu.
Menyongsong revolusi industri keempat atau 4.0, Indonesia ditargetkan bisa mencapai posisi sebagai negara maju pada tahun 2045 atau seabad kemerdekaannya. Untuk itu, pembangunan seharusnya tak lagi berbasis sumber daya alam, tetapi beralih berbasis pengetahuan dan teknologi.
Hal itu butuh penguatan peran pendidikan tinggi menghasilkan sumber daya manusia bermutu. Caranya, antara lain, memperbanyak jumlah sarjana teknik atau perekayasa serta wirausahawan bidang teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ SAMUEL OKTORA–Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro sedang mewakili penerima penghargaan menyampaikan pesan dan harapan kepada ITB
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro mengemukakan hal itu dalam Peringatan 98 Tahun Pendidikan Tinggi Teknik Indonesia 1920-2018 di Aula Barat Institut Teknologi Bandung, Bandung, Rabu (4/7/2018).
Pada acara itu, ITB memberi penghargaan kepada perorangan dan institusi yang berkontribusi pada kemajuan ilmu pengetahuan, bangsa, dan ITB. Ada 6 kategori penghargaan, yakni Ganesa Prajamanggala Bakti Adiutama dan Utama, Ganesa Widya Jasa Adiutama dan Utama, serta Ganesa Wirya Jasa Adiutama dan Utama.
”Ada 31 orang dan institusi yang menerima penghargaan kali ini,” kata Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Alumni, dan Komunikasi ITB Miming Miharja.
Bambang serta Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir meraih Ganesa Prajamanggala Bakti Adiutama. Penerima Ganesa Wirya Jasa Adiutama, penghargaan bagi pihak yang berjasa-berprestasi di bidang iptek, antara lain pendiri Kalbe Farma Boenjamin Setiawan, Dirut PT Kimia Farma Honesti Basyir, dan Direktur Utama Telkom Alex J Sinaga.
Menurut Bambang, Indonesia harus melaksanakan perubahan mendasar dengan mewujudkan ekonomi berbasis pengetahuan atau teknologi, tak lagi ekonomi berbasis sumber daya alam. ”Kebutuhan sarjana teknik mendesak,” ucapnya.
KOMPAS/ SAMUEL OKTORA–Memberikan penghargaan – Rektor Institut Teknologi Bandung, Kadarsah Suryadi sedang memberikan penghargaan kategori Ganesa Prajamanggala Bakti Adiutama kepada Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir dalam acara Peringatan 98 Tahun Pendidikan Tinggi Teknik Indonesia 1920 – 2018 di Aula Barat ITB, Bandung, Jawa Barat, Rabu (4/7/2018). Penghargaan kategori ini juga diberikan kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro (dua dari kiri), serta kepada Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Indonesia, Triawan Munaf yang diwakili oleh istrinya, Luky Ariani (kiri)
Sebenarnya jumlah sarjana teknik banyak. Namun, menurut ASEAN Federation of Engineering Organisations, dari 750.000 insinyur di Indonesia, hanya 90.000 orang yang bekerja sebagai insinyur profesional. Jadi, pendidikan tinggi berhasil melahirkan sarjana teknik, tetapi para lulusan itu lebih banyak terjun ke sektor lain. ”Padahal, untuk mewujudkan ekonomi berbasis pengetahuan, perlu insinyur,” ujarnya.
Rektor ITB Kadarsah Suryadi mengajak penyelenggara pendidikan tinggi teknik untuk mengembangkan pendidikan teknik. Hal itu bertujuan menghasilkan sarjana, magister, dan doktor yang mengaitkan kemanusiaan dengan teknologi. ” Jadi, teknologi yang dihasilkan memicu manusia bekerja dan beraktivitas lebih nyaman dan produktif,” katanya.
Metode pendidikan
Nasir, dalam orasi ilmiahnya, memaparkan, di era revolusi industri 4.0, strategi yang bisa dilakukan adalah menggabungkan keunggulan pendidikan tinggi tradisional dengan pembelajaran daring secara masif (massive open online course/MOOC). Sumber pembelajaran diakuisisi perangkat seluler lewat teknologi digital dan internet agar sumber pembelajaran lebih mudah diakses.
Namun, interaksi langsung mahasiswa dan dosen tetap penting dalam pendidikan bermutu.
”Perpaduan MOOC dan pembelajaran tradisional jadi solusi memenuhi kebutuhan pasar kerja global. Masalah penyelenggaraan MOOC adalah akreditasi dan kepercayaan pada lembaga penyelenggara. Adapun lembaga pendidikan tinggi dipercaya dan pengalaman akreditasi,” tuturnya.
Pendidikan tinggi pun perlu mengantisipasi kompleksitas sistem akibat revolusi industri 4.0. ”Kolaborasi universitas, industri, dan pemerintah, sebagai syarat menghasilkan inovasi,” ucapnya.
Boenjamin menegaskan, perlu dukungan pemerintah agar industri mau mengembangkan riset bersama perguruan tinggi dan lembaga riset lain. Contohnya, pemberian insentif pajak bagi perusahaan yang melaksanakan riset.–EVY RACHMAWATI/SAMUEL OKTORA
Sumber: Kompas, 5 Juli 2018