Pembangunan Minimalkan Dampak terhadap Keragaman Hayati

- Editor

Sabtu, 11 Mei 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Satu juta spesies flora dan fauna yang menuju kepunahan menandai krisis ekosistem global yang dampaknya akan dirasakan semua orang. Untuk itu, semua negara dituntut menyelaraskan pembangunannya agar tidak memperparah kriris ekosistem global ini.

Indonesia yang menjadi salah satu pemilik keragaman hayati tertinggi di dunia saat ini menjadi sorotan karena laju degradasi lingkungan dan kepunahan spesies flora dan faunanya terjadi dengan cepat.

“Pembangunan tidak bisa dihentikan, tetapi bagaimana hal itu dilakukan secara lebih ramah lingkungan sehingga tidak memperarah laju kehilangan spesies. Kita sebenarnya sudah punya banyak peraturan tentang ini, tetapi yang dibutuhkan lebih pada aksi nyata karena kondisinya memang sudah sangat mengkhawatirkan,” kata Prof Gono Semiadi, ahli biologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di Jakarta, Jumat (10/5). Gono merupakan National Focal Point Indonesia untuk The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Gono, dampak bagi dergradasi eksositem dan berkuranganya spesies akan sama besarnya dengan dampak perubahan iklim terhadap kehidupan manusia di masa depan. Tak hanya pemerintah, menurut Gono, masyarakat dan swasta, juga dituntut turut bertanggungjawab mengatasi persoalan bersama.

“Ada banyak inisiatif yang bisa dilakukan,” katanya. Salah satu bentuk nyata yang bisa dilakukan adalah mengganti pupuk kimia dan mengurangi penggunaan pestisida agar tak mengancam serangga penyerbuk dan mikroorganisme tanah. Pertanian monokultur harus diganti dengan permakultur sehingga mengembalaikan keberagaman hayati.

“Prinsipnya kita harus menyeimbangkan berbagai kepentingan. Dunia bisnis harus betul-betul ikut bertanggung jawab, tidak hanya secara finansial, tetapi juga model bisnis yang diterapkan. Jangan beranggapan bahwa kehilangan spesies ini urusan orang konservasi, ini kepentingan semua dan akan berdampak kepada semua orang,” ungkapnya.

Laporan IPBES menunjukkan, sektor pertanian menjadi pemicu utama degradasi lingkungan dan menyusutnya spesis. Degradasai lahan yang disebabkan hilangnya mikroorganisme tanah telah mencapai tahap kritis dan mengancam kehidupan 3,2 miliar orang. Ekosistem lahan basah, termasuk gambut, termasuk yang paling parah terdampak. Telah hilang hampir 50 persen sejak 1900. Kehancuran ekosistem ini akan mengurangi produksi tanaman pangan dan obat-obatan hingga 10 persen dalam 30 tahun ke depan.

Ibukota baru
Guru Besar Biologi Konservasi Universitas Indonesia Jatna Suprijatna mengatakan, untuk mengurangai tekanan terhadap ekosistem, pembukaan hutan yang tersisa demi alasan pembangunan harusnya dihentikan. Pembangunan bisa mengoptimalkan hutan yang sudah telanjur dibuka.

Oleh karena itu, terkait rencana pembangunan ibukota baru diharapkan bisa menerapkan prinsip meminimalkan tekanan terhadap keberagaman hayati ini, tidak hanya pertimbangan ekonomi. Mulai dari pemilihan lokasi, hingga proses pembangunannya harus memperhatikan dampaknya terhadap eksosistem.

Pulau Kalimantan yang saat ini menjadi salah satu calon ibukota baru termasuk yang paling rusak ekosistemnya. “Hutan di sana hampir habis, terutama karena menjadi perkebunan sawit dan pertambangan skala besar. Jangan sampai lokasi ibukota baru yang dipilih dengan mengonversi hutan lagi,” kata Jatna.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Merah Johansyah menyarankan, lokasi yang diperuntukkan ibukota baru di Kalimantan sebaiknya dari area bekas konsesi pertambangan atau perkebunan sawit. “Kalau tetap mau di Kalimantan, pilihannya bekas tambang atau perkebunan sawit. Sekalian pemerintah bisa menunjukkan inisiatif baik dengan merehabilitasi lahan marjinal bekas industri untuk fungsi lebih baik,” katanya.

Oleh AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 11 Mei 2019

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum
3 Ilmuwan Menang Nobel Kimia 2023 Berkat Penemuan Titik Kuantum
Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023
Tiga Ilmuwan Penemu Quantum Dots Raih Nobel Kimia 2023
Penghargaan Nobel Fisika: Para Peneliti Pionir, di antaranya Dua Orang Perancis, Dianugerahi Penghargaan Tahun 2023
Dua Penemu Vaksin mRNA Raih Nobel Kedokteran 2023
Berita ini 0 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Senin, 13 November 2023 - 13:46 WIB

UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum

Senin, 13 November 2023 - 13:42 WIB

3 Ilmuwan Menang Nobel Kimia 2023 Berkat Penemuan Titik Kuantum

Senin, 13 November 2023 - 13:37 WIB

Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023

Senin, 13 November 2023 - 05:01 WIB

Penghargaan Nobel Fisika: Para Peneliti Pionir, di antaranya Dua Orang Perancis, Dianugerahi Penghargaan Tahun 2023

Senin, 13 November 2023 - 04:52 WIB

Dua Penemu Vaksin mRNA Raih Nobel Kedokteran 2023

Senin, 13 November 2023 - 04:42 WIB

Teliti Dinamika Elektron, Trio Ilmuwan Menang Hadiah Nobel Fisika

Berita Terbaru

Berita

UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum

Senin, 13 Nov 2023 - 13:46 WIB

Berita

Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023

Senin, 13 Nov 2023 - 13:37 WIB