Satu Juta Spesies Menuju Kepunahan

- Editor

Rabu, 8 Mei 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kualitas lingkungan global menurun hingga tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya sehingga mengancam kehidupan. Satu juta spesies tanaman dan binatang menuju kepunahan.Sebagai negara kepulauan dengan ekologi yang rapuh, Indonesia termasuk yang paling rentan kehilangan keragaman hayati.

Laporan panel ahli Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services(IPBES) di bawah koordinasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini memperingatkan, laju kepunahan ragam hayati ini telah berdampak terhadap keberlangsungan hidup seluruh makhluk di Bumi, termasuk manusia. Ringkasan laporan yang disusun selama tiga tahun oleh 450 ilmuwan dari 100 negara ini dirilis pada Selasa (7/5/2019).

KOMPAS/AHMAD ARIF–Jerapah di habitat alaminya di Taman Nasional Nairobi, Kenya, pertengahan Maret 2019 Laporan terbaru dari Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) di bawah koordinasi Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan, satu juta spesies di Bumi saat ini menuju kepunahan akibat ulah manusia. Kompas/Ahmad Arif

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sebanyak 15.000 hasil kajian ilmiah menjadi dasar laporan ini.Mengacu pada laporan ini, kelimpahan spesies asli di sebagian besar habitat daratan, air tawar, dan lautan telah turun paling sedikit 25 persen sejak tahun 1900 dan melonjak laju degradasinya dalam 40 tahun terakhir. Sebanyak 680 spesies hewan bertulang belakang (vertebrata) telah punah, termasuk kura-kura raksasa Pinta dari Galapagos yang punah pada 2012.

Lebih dari 9 persen spesies dari semua jenis mamalia yang diternakkan untuk pangan dan pertanian telah punah pada tahun 2016, dengan setidaknya 1.000 jenis lain terancam. Untuk spesies amfibi yang terancam punah mencapai 40 persen, terumbu karang dan mamalia laut 33 persen, burung 14 persen, dan serangga minimal 10 persen.

Berdasarkan proporsi tersebut, para ilmuwan meperkirakan, dari sekitar 8 juta spesies hewan dan tumbuhan yang ada, di mana 75 persen di antaranya adalah serangga, sekitar 1 juta terancam punah.

“Kesehatan ekosistem tempat kita dan semua spesies lain bergantung, memburuk lebih cepat daripada sebelumnya. Kita telah mengikis fondasi ekonomi, mata pencaharian, keamanan pangan, kesehatan, dan kualitas hidup seluruh makhluk di dunia,” kata Ketua IPBES, Sir Robert Watson.

Menurut Watson, praktik eksploitasi sumber daya tak berkelanjutan ini pada akhirnya berbalik mengancam pemenuhan pangan global. Kehilangan serangga penyerbuk telah menurunkan produksi tanaman dengan kerugian hingga 577 miliar dollar Amerika Serikat, dan panen global menurun 23 persen akibat degradasi tanah.

Ketidakseimbangan ekologi juga telah memunculkan spesies ekspansif, misalnya merebaknya hama tanaman. Tekanan terhadap produksi pangan diperberat dengan kekurangan air tawar dan ketidakstabilan iklim. “Penyusutan ragam hayati ini merupakan ancaman langsung terhadap kesejahteraan manusia di semua wilayah di dunia,” kata Josef Settele, anggota panel ahli.

Berdasarkan analisis menyeluruh dari bukti yang tersedia, lima pendorong utama kepunahan ragam hayati ini secara berurutan adalah perubahan penggunaan lahan di daratan dan laut untuk kepentingan poduksi pangan, eksploitasi langsung organisme, perubahan iklim, polusi, dan meledaknya spesies asing invasif.

Laporan ini juga menyebutkan, kegiatan pertanian dan peternakan yang mengokupasi 33 persen total daratan dan mencemari 75 persen sumber air tawar. Industri pertanian–termasuk perkebunan skala besar– juga menyumbang 25 persen dari total emisi gas rumah kaca, merupakan proporsi terbesar emisi dari ulah manusia. Emisi ini terutama bersumber dari penggunaan pupuk kimia dan konversi lahan, utamanya hutan hujan tropis.

Tanpa perubahan menyeluruh terhadap sistem ekonomi, sosial dan politik dunia untuk mengatasi krisis ini, panel IPBES memproyeksikan bahwa kehilangan keanekaragaman hayati akan berlanjut hingga titik kritis di tahun 2050.

Kerentanan Indonesia
Guru Besar Biologi Konservasi Universitas Indonesia Jatna Supriatna mengatakan, laporan IPBES harus menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat Indonesia. “Kita memiliki keragaman hayati sangat tinggi, namun juga kerentanannya sangat tinggi,” katanya.

Menurut Jatna, berdasarkan Red List IUCN (International Union for Conservation of Nature), jumlah spesies endemik di Indonesia yang terancam punah termasuk yang tertinggi di dunia. Ekologi kepulauan tingkat endemisitasnya sangat tinggi, namun karena luas habitatnya terbatas, kerentanannya menjadi tinggi. “Semakin kecil pulaunya, semakin rapuh spesiesnya,” ujarnya.

Berbeda dengan ekologi daratan besar seperti Amerika atau Afrika, distribusi spesies flora dan fauna di kepulauan sangat terbatas. Dia mencontohkan, jalak bali, di alam sekarang kurang dari 10 ekor, badak jawa yang hanya ada di Ujung Kulon tinggal 50 ekor, badak sumatera sekitar 100 ekor.

“Kalau binatang ini di habitatnya sudah punah tidak akan bisa ditemukan di tempat lain. Beda dengan fauna di Brazil, kalau punah di negara asaanya, kemungkinan masih ada jenis yang sama di Argentina,” kata Jatna.

Ancaman terbesar terhadap punahnya keragaman hayati di Indonesia adalah karena kegiatan penambangan dan konversi lahan, terutama untuk perkebunan sawit skala besar. “Padahal, hilangnya suatu spesies pasti mengganggu keseimbangan alam yang sudah terbentuk ribuan bahkan ratusan ribuan tahun. Dampkanya di antaranya terjadinya ledakan hama tanaman,” ungkapnya.–AHMAD ARIF

Editor EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 8 Mei 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB