Kebakaran hutan dan lahan saat ini menjadi bukti kebijakan pembangunan ekonomi di masa lalu mengabaikan karakter alam. Jika kebijakan pembangunan saat ini mengulangi pengabaian tersebut, bencana di masa depan kemungkinan akan lebih parah dan menimbulkan kerugian lebih besar.
“Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) saat ini tidak lepas dari keputusan cara membangun 15 tahun lalu,” ucap mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim di Jakarta, Rabu (4/11), di sela peluncuran film Alam Berbicara. Film itu merupakan alat kampanye Conservation International Indonesia, mendorong program konservasi dan perubahan pengambilan kebijakan.
Emil mengatakan, tahun 2000, saat permintaan minyak kelapa sawit meningkat pesat, pemerintah menempatkan kelapa sawit bersama batubara sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi. Perluasan kelapa sawit secara masif akhirnya merambah rawa gambut. Karakter rawa gambut yang berair berubah karena dikeringkan yang mengakibatkan mudah terbakar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kebakaran hutan dan lahan tahun ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk meninjau kebijakannya, apakah sudah memperhatikan karakter alam. “Bicara pembangunan berwawasan lingkungan bukan bicara tentang hari ini, melainkan Indonesia tahun 2045,” ujar Emil.
Ia memperingatkan ada alternatif model pembangunan lainnya, yaitu yang inklusif berkelanjutan (inclusive sustainable development) yang sesuai jalur Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) dan kini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Sosial (SDG) yang tujuannya adalah kemiskinan nol (zero poverty) pada 2030. Pembangunan inklusif, jelas Emil, memiliki tiga pilar: sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nur Masripatin mengungkapkan, akibat karhutla yang terjadi sekarang meningkatkan status emisi gas rumah kaca Indonesia. Di sisi lain, perubahan iklim juga meningkatkan magnitude karhutla.
Menghadapi pertemuan para pihak ke-21 (COP-21) konferensi perubahan iklim di Paris akhir November sampai 11 Desember nanti, Indonesia memasukkan niatan kontribusi nasional penurunan emisi (INDC) yang menyebut penurunan 29 persen secara mandiri dan 41 persen dengan bantuan luar dari kondisi tanpa intervensi (BAU). Dari INDC 147 negara, diperkirakan suhu global naik 2,7 derajat celsius-melewati batas aman 2 derajat celsius pada 2050.
Masa kini
Staf Ahli Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Bidang Kebijakan Publik Achmad Poernomo menegaskan, kebijakan dari KKP menggunakan tiga pendekatan, yaitu kedaulatan, keberlanjutan (sustainability), dan kesejahteraan pada ujungnya.
Achmad mengatakan, dari KKP, kini ada program Desa Pesisir Tangguh untuk kesiapan menghadapi ancaman dampak perubahan iklim. “Itu harus menjadi kerja bareng antara KKP dan mereka yang ada di luar,” ujarnya.
Vice President Conservation International Indonesia Ketut Sarjana Putra menyoroti salah satu ancaman terhadap sumber daya yang sekarang terjadi, yakni reklamasi Teluk Benoa, Bali.
“Teluk Benoa itu penampung air dari empat daerah aliran sungai sebelum masuk ke laut. Itu semacam gelas yang menampung air,” ucap Ketut. Ia menganalogikan, jika batu bervolume lebih besar dibandingkan volume ruang kosong gelas masuk, air di dalam gelas akan tumpah.
Di Benoa, reklamasi mengakibatkan kemampuan teluk menampung air berkurang sehingga melewati batas daya dukungnya dan luapan air dapat terjadi, serta bisa menjangkau daerah emas investasi di Sanur atau Bandara Ngurah Rai. (ISW/JOG)
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 November 2015, di halaman 14 dengan judul “Pembangunan Abai Karakter Alam”.