“Apa itu berpikir? Bagaimana kita bisa mengetahui seseorang berpikir atau tidak?” Demikian pertanyaan Daoed Joesoef, cendekiawan sekaligus menteri pendidikan dan kebudayaan periode 1978-1983, di hadapan hadirin pada acara peluncuran bukunya di Jakarta, Kamis (26/10).
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Daoed Joesoef memberikan buku hasil karyanya, Rekam Jejak Anak Tiga Zaman, kepada istrinya, Sri Soelastri, di Kantor Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Gambir, Jakarta, Kamis (26/10). Kegiatan yang diprakarsai CSIS bersama Penerbit Buku Kompas tersebut menjadi bagian dalam perayaan ulang tahun ke-91 Daoed Joesoef.
Pertanyaan tersebut mungkin terdengar sederhana bagi banyak orang. Akan tetapi, bagi Daoed yang berulang tahun ke-91 pada Agustus, pertanyaan tersebut belum terjawab. Ia masih terus mencari jawabannya. Proses pencarian yang tak lekang oleh waktu dan tak kunjung berakhir itu ia tuangkan pada karya terbarunya yang berjudul Rekam Jejak Anak Tiga Zaman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Buku biografi tersebut memaparkan kisah hidup Daoed, mulai dari kelahirannya di Medan, Sumatera Utara, bersekolah di Yogyakarta, berkuliah di Universitas Indonesia (Jakarta), mendapatkan beasiswa ke Perancis, menjadi pejabat negara, hingga mengisi masa pensiun dengan aktif menulis artikel-artikel yang kritis dan tajam.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Daoed Joesoef memberikan buku hasil karyanya, Rekam Jejak Anak Tiga Zaman, kepada istrinya, Sri Soelastri, di Kantor Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Gambir, Jakarta, Kamis (26/10). Kegiatan yang diprakarsai CSIS bersama Penerbit Buku Kompas tersebut menjadi bagian dalam perayaan ulang tahun ke-91 Daoed Joesoef.
Ia sudah merasakan, menyaksikan, dan mengalami Indonesia dari masa penjajahan Belanda, Jepang, masa kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, hingga masa sekarang.
Sepanjang hidupnya, Daoed selalu berpikir kritis. Dalam bukunya, dikisahkan sikap kritis itu didapat dari ibunya, Djasi’ah Joesoef. Perempuan yang dipanggilnya “Emak” itu yang selalu mendorongnya kreatif dan mengembangkan bakat. “Tetap saya belum menemukan makna dari berpikir. Apakah cukup dengan beropini, mengkritik, dan menulis buku? Kita juga tidak boleh menghakimi orang- orang yang tidak mengekspresikan pendapat mereka sebagai orang yang tak berpikir,” ujarnya.
Prinsip terus mencari dan tak menghakimi itu terus ia pegang, termasuk ketika menjadi salah satu pendiri Centre for Strategic and International Studies. Sebagai sebuah lembaga kajian, Daoed menekankan prinsip berpikir kritis dan terus mencari jawaban atas sejumlah permasalahan yang ada di masyarakat.
Salah satu penanggap buku tersebut, dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Aceh, Teuku Kemal Fasya memuji sikap itu. Ia menggarisbawahi pengalaman Daoed menjadi Mendikbud yang kemudian dilanjutkan dengan menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI (1983-1988).
“Pak Daoed jadi bagian dari pemerintah, tetapi ia tetap menjaga jarak dengan penguasa agar sikap kritisnya tak luntur. Ia cermat dalam mengamati hal yang terjadi di sekitarnya dan tak segan bersikap kritis terhadap hal yang ia nilai tak sesuai idealismenya,” kata Kemal.
Menurut dia, ini contoh positif bagi generasi masa kini. Alasannya, karena sikap kritis makin memudar di masyarakat. Masyarakat terlalu mengidolakan tokoh, tetapi tak bisa bersikap kritis ketika tokoh itu mengambil tindakan yang keliru. Adapun sebagian masyarakat lainnya telanjur membenci seseorang karena alasan emosional meski orang yang dibencinya itu melakukan hal positif.
Pelaku aktif sejarah
Redaktur senior Kompas, St Sularto, dalam pidato sambutannya mengatakan, Daoed tak sekadar saksi sejarah. Ia adalah pelaku aktif sejarah bangsa ini mengindonesia. Dari awal, ia memiliki sikap nasionalisme yang kuat. “Pak Daoed tegas memilih ingin berkontribusi kepada bangsa melalui bidang pendidikan. Hal itu membuatnya keluar dari TNI guna menekuni dunia akademis,” katanya.
Daoed percaya membangun bangsa harus dari manusianya. Karena itu, ia memastikan perguruan tinggi berpegang pada marwahnya, yakni mendidik mahasiswa berpikir kritis sehingga jadi manusia yang menghargai nilai kebangsaan. (DNE)
Sumber: Kompas, 27 Oktober 2017