Paradoks Jamu

- Editor

Rabu, 15 April 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Di puncak Tawangmangu yang dingin, jarak 42 kilometer dari Kota Solo, Jawa Tengah, berdiri Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Tanpa banyak publikasi, lembaga ini telah meneliti dan mengembangkan tanaman obat dan jamu dari pelosok Nusantara.
Bekerja sama dengan 26 perguruan tinggi, sudah dikumpulkan berbagai ramuan dan tanaman obat dari 209 etnis di 26 provinsi di luar Jawa dan Bali. Hasilnya adalah identifikasi 15.773 ramuan, 19.739 tanaman obat, dan 1.324 pengobat tradisional.

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional ini juga memiliki empat kebun dengan total luas 21 hektar, pengolahan pascapanen, laboratorium terpadu, dan rumah riset jamu. Program pelatihannya telah mendidik 384 dokter dan 71 apoteker untuk saintifikasi jamu.

Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama, pengembangan jamu memang dilakukan lewat saintifikasi, dengan standardisasi dan fitofarmaka jamu. Saintifikasi berarti mendekati jamu secara ilmiah lewat studi etnofarmakologi, formulasi, serta uji laboratorium dan klinik. Standardisasi berarti keamanan dan khasiat jamu sudah sesuai standar. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang sudah teruji secara ilmiah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Saat ini sudah ada dua jamu saintifik, yaitu untuk hipertensi ringan dan masalah asam urat. Target tahun 2015 adalah uji saintifikasi untuk 24 formula jamu,” ujar Tjandra.

Sejarah panjang
Jamu adalah istilah Jawa untuk obat tradisional yang dibuat dari ramuan tanaman obat, bisa bunga, buah, kulit pohon, dan akar. Penelitian Tuschinsky (“Balancing Hot and Cold-Balancing Power and Weakness: Social and Cultural Aspect of Malay Jamu in Singapore” dalam Social Science and Medicine, 1995) menunjukkan, komposisi suatu ramuan bisa mencapai 40 elemen.

Sesungguhnya jamu sudah melalui perjalanan panjang. Jauh sebelum Belanda masuk dan menjajah Indonesia, jamu adalah bagian dari ratusan jenis pengobatan tradisional di Nusantara. Tidak seperti sekarang ketika orang bisa seenaknya mengaku dukun yang bisa mengobati, dulu untuk menjadi dukun perlu persyaratan tertentu: berbakat, tahan uji, dan tentu saja religius. Paling tidak, seorang dukun butuh waktu lima tahun untuk menurunkan ilmu kepada penerusnya (Suparlan dalam The Javanese Dukun, 1991).

Namun, kehadiran Jacob Bontius yang bertugas melayani kesehatan di Indonesia tahun 1626 menyurutkan kejayaan jamu. Seperti yang ditulis Hesch dalam Social Science and Medicine tentang “To Strenghthen and Refresh: Herbal Therapy in Southeast Asia”, 1988, Bontius membawa teknik pengobatan Eropa yang menjadi cikal kedokteran modern di Indonesia.

Jamu mencapai kejayaan kembali ketika Indonesia menghadapi masa krisis seperti zaman penjajahan Jepang ataupun krisis keuangan pada tahun 1960-an dan 1998. Namun, begitu masa krisis lewat, tak ada lagi yang memperhatikan jamu. Untunglah, kesadaran dunia untuk kembali ke alam menyemarakkan kehadiran jamu. Banyak perusahaan jamu tumbuh dengan omzet miliaran rupiah.

Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan 30,4 persen rumah tangga di Indonesia memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional. Tahun 2010, riset yang sama menyebutkan 59,12 persen penduduk Indonesia di atas usia 15 tahun minum jamu.

Namun, pemerintah perlu berhati-hati mengembangkan jamu karena komodifikasi dan saintifikasi jamu sebenarnya bak pisau bermata dua. Di satu sisi metode ini bisa mengangkat jamu setara dengan pengobatan Barat, tetapi di sisi lain cara ini bisa menghilangkan identitas jamu.

Bagaimana seharusnya? Ada baiknya para ahli di Kementerian Kesehatan bertemu dengan para sosiolog dan antropolog agar warisan nenek moyang ini tetap dikenal dalam tradisinya.–AGNES ARISTIARINI
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 April 2015, di halaman 14 dengan judul “Paradoks Jamu”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Mengalirkan Terang dari Gunung: Kisah Turbin Air dan Mikrohidro yang Menyalakan Indonesia
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 14 Juli 2025 - 16:21 WIB

Mengalirkan Terang dari Gunung: Kisah Turbin Air dan Mikrohidro yang Menyalakan Indonesia

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Kapal yang Ditelan Kuda Laut

Senin, 14 Jul 2025 - 15:17 WIB

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB