Malas mencuci piring justru berbuah manis bagi Azy Ilham Sudibyo (14) dan Tio Pidie Lesmana (14). Kedua pelajar SMP Negeri 1 Subang, Jawa Barat, ini lolos ke babak final National Young Inventor Award 2016 berkat mesin cuci portabel temuan mereka. Ajang ini digelar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia serangkai dengan Lomba Karya Ilmiah Remaja, 26-27 September lalu. Tujuannya, membangun budaya meneliti di kalangan pelajar Indonesia.
Azy, yang kerap disuruh ibunya mencuci piring di rumah, malas mencuci piring satu per satu secara manual. Ia mengisi ember dengan air secukupnya, lalu menambahkan dua tetes sabun. Kemudian piring kotor dijejerkannya di dalam ember. Selanjutnya, dia obok-obok dengan tangan hingga larutan sabun berbusa.
“Ternyata, piring bisa bersih karena kekuatan putaran air,” ujarnya, Senin (26/9), di Jakarta, di sela-sela pameran hasil-hasil penemuan lomba yang diadakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penasaran? Coba kita lihat cara kerjanya. Kedua remaja itu berinovasi membuat alat putar agar lebih praktis. Tutup ember dilubangi persis bagian tengah, lalu dihubungkan dengan potongan serokan sampah. Pegangan pengki itu disambungkan dengan laher (bearing)sepeda motor.
Seluruh komponen peranti ini diambil dari limbah dan rongsokan di sekitar sekolah. “Karena sedang ada proyek pembangunan, jadi banyak sisa-sisa bahan. Ini yang kami manfaatkan,” kata Azy.
Untuk merontokkan sisa-sisa makanan dari permukaan piring, di mulut ember dipasang alat pemutar. Dalam waktu dua menit, seluruh noda di piring telah bersih.
Kiprah sebagai remaja penemu tidak hanya dilakoni Azy dan Tio. Dalam ajang lomba tahunan bagi remaja ini, sejumlah pelajar juga berupaya mencari solusi praktis atas masalah sehari-hari.
Bahkan, masalah sederhana tentang gunting kuku mengilhami Mikha Christevan Tanihatu dan Daniel Prathito dari SMA Katolik Ricci II untuk berinovasi. Mereka menciptakan guntal alias gunting kuku anti pental.
“Awalnya, sih, gara-gara dimarahi orangtua karena, sehabis gunting kuku, saya jarang membersihkan potongannya,” kisah Mikha sambil tertawa. “Akhirnya saya berpikir, bagaimana, ya, agar potong kuku bisa praktis?”
Mikha menjadikan bola pingpong sebagai penampung potongan kuku. Ia menyayat bola sehingga dapat ditempelkan ke bagian depan gunting kuku. Lengkungan bola pingpong berfungsi mencegah potongan kuku terpental ke luar bagian bola.
Ia juga membuat semacam jendela dari potongan mika di potongan bola pingpong agar proses menggunting kuku masih bisa terlihat. Hasilnya, seluruh potongan kuku tertampung di bola pingpong. “Praktis, kan? Tinggal sekali buang,” katanya.
Dalam ajang Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) 2016, para pelajar SMA juga berusaha memberikan solusi lewat karya mereka. Mereka ingin hadir memberi solusi atas masalah yang kerap timbul dalam kehidupan sehari-hari.
Sebut, misalnya, Fenny Kusuma Leliga dan Refina Anjani Puspita. Kedua pelajar SMA Negeri 1 Tarakan, Kalimantan Utara, ini berupaya mengembangkan yoghurt berbasis gula organik yang dibuat dari ekstrak rumput laut dan bugenvil. Substansi pinitol dan flavonoid dalam ekstrak rumput laut dan bugenvil bermanfaat bagi penderita diabetes melitus tipe 2.
Rumput laut, yang banyak dibudidayakan di Tarakan, diekstrak menjadi gula cair. Adapun bugenvil diekstrak secara manual, yakni dengan direbus, untuk mendapatkan rasa yang kaya. “Di daerah kami, bugenvil memang sering dimanfaatkan sebagai bagan makanan,” kata Refina.
Upaya penemuan ini butuh waktu percobaan sembilan bulan. Ketiadaan perpustakaan di daerah tak menyurutkan minat mereka. Lalu, dimanfaatkanlah beragam jurnal daring (online) sebagai rujukan.
Namun, ketiadaan laboratorium di Tarakan membuat mereka harus pergi ke Yogyakarta. “Kami bekerja di laboratorium Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada untuk praktik membuat yoghurt,” kisah Refina.
Membangun karakter
Karya ilmiah pelajar Indonesia dalam sejumlah kompetisi penelitian, seperti OPSI, NYIA, dan LKIR, tidak hanya memberi solusi praktis bagi permasalahan sehari-hari. Dengan meneliti, mereka pun membangun karakter yang baik untuk menghadapi tantangan zaman.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harris Iskandar menyatakan, penelitian membutuhkan ketekunan, kedisiplinan, dan etos kerja yang baik. Inilah yang membentuk karakter kerja anak.
“Dibutuhkan pula kejujuran atas orisinalitas yang berkaitan dengan moralitas,” kata Harris dalam pembukaan final OPSI 2016 di Kampus Indonesia International Institute for Life Sciences, Jakarta, Selasa (4/10).
Melalui kegiatan seperti itu, Haris juga berharap peneliti Indonesia kelak piawai menghadapi kemajuan zaman. Ungkapan Harris mengacu pada standar World Economy Forum, yakni kompetensi untuk berpikir kritis, berkolaborasi, berkreasi, dan berkomunikasi. (C01)
——–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Oktober 2016, di halaman 5 dengan judul “Menjadi Penemu semenjak Remaja”.