Mengabaikan Risiko

- Editor

Rabu, 26 Februari 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

CATATAN IPTEK
Belajar dari rentetan kasus bencana, masyarakat kita mengalami persoalan serius dalam hal pengabaian risiko. Bencana yang sebenarnya bisa dihindarkan jika risiko tak diabaikan, kemudian diterima sebagai takdir…

KOMPAS/KELVIN HIANUSA-+Di Teluk Palu, masih ada warung yang menjajakan dagangnya di pesisir pada Jumat (10/1/2020). Padahal daerah ini sudah ditetapkan sebagai zona merah dalam peta zona rawan bencana setelah gempa bumi dan tsunami pada September 2018.

Mulai dari kembalinya para penyintas tsunami ke pesisir, santainya respon terhadap ancaman wabah korona, cemaran radiasi di perumahan Batan Indah, hingga tragedi hanyutnya anak-anak Pramuka di Sleman, kita melihat benang merah yang sama: pengabaian risiko bencana.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pengabaian risiko ini dipengaruhi oleh banyak faktor, mulai dari soal pengetahuan dan persepsi, hingga kepentingan ekonomi politik. Masalah pada pengetahuan ini misalnya, hingga sebelum bencana melanda Palu pada 2018, banyak penduduknya tidak mengetahui bahwa kota mereka rentan terdampak gempa besar yang bisa diikuti tsunami dan likuefaksi.

Survei yang dilakukan Litbang Kompas saat Ekspedisi Cincin Api pada 2011 menemukan, mayoritas warga Kota Palu tidak mengetahui kota mereka rawan tsunami. Mereka beranggapan bahwa kondisi perairan teluk akan membuat Palu aman dari ancaman tsunami. Ketidaktahuan ini membuat mereka tidak mempersiapkan diri menghadapi ancaman bencana itu.

Namun demikian, setelah bencana ternyata masih banyak masyarakat yang menolak untuk direlokasi. Jalur retakan yang menandai sesar aktif di permukaan kembali ditutup dan rumah-rumah kembali dibangun di atasnya. Demikian pula kawasan pesisir, kembali dipadati penduduk, sebagaimana juga terjadi di Aceh dan daerah lain di Indonesia setelah tsunami.

Jadi, masalahnya kemudian bukan lagi ketidaktahuan, tetapi lebih karena persepsi risiko. Sekalipun ancamannya sama, namun persepsi orang terhadap risiko bisa berbeda-beda. Misalnya, sebagian penyintas memilih pindah dari kampung asal yang hancur, namun mayoritas ingin kembali lagi.

Mereka yang kembali ke zona merah ini, umumnya telah mengetahui bahwa sewaktu-waktu bencana serupa bakal terjadi. Namun, mereka kemudian menegasikan risiko ini.

KOMPAS/ZULKARNAINI–Jalur evakuasi dari bencana tsunami di Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh direkam pada Selasa (28/1/2020). Desa ini masuk dalam zona sangat rawan bencana tsunami, namun warga tetap memilih tinggal di kawasan itu.

Ada banyak alasan kenapa orang cenderung menegasikan risiko. Salah satu alasannya bersifat ekonomi politik. Ancaman bencana alam dinegosiasikan dengan risiko lainnya yang menurut persepsi mereka lebih besar.

Misalnya, dampak ekonomi dan politik dari wabah korona, lebih ditakutkan dibandingkan virusnya itu sendiri. Karena itu, Pemerintah Indonesia selalu berupaya menutupi risiko, misalnya dengan mendiskon pesawat hingga membangun narasi,”Kita aman dari korona berkat Tuhan,” dibandingkan meningkatkan kapasitas dalam penapisan dan pemeriksaan.

Contoh lain, karena berprofesi sebagai nelayan, penyintas tsunami akan kembali tinggal di pesisir karena harus dekat dengan perahu dan mesinnya. Jika menjauh dari pantai, mereka beranggapan bakal kesulitan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Pengabaian risiko juga bisa dipicu oleh faktor budaya sembrono dan malas berpikir panjang, serta enggan memitigasi kemungkinan terburuk. Budaya ini terbentuk melalui praktik pembiaran terhadap penyimpangan yang berlangsung lama.

Kasus limbah radiasi di Batan Indah dan hanyutnya anak-anak Pramuka di Sleman agaknya bisa dibaca dengan konsep banalitas penyimpangan ini. Dalam buku The Challenger Launch Decision; Risky Technology, Culture, and Deviance at NASA, 1996, sosiolog Diane Vaughan mengungkapkan, tragedi Challenger tak semata soal teknis, tetapi menandai ada masalah dalam budaya organisasi NASA.

Di tubuh NASA, ada kelompok birokrat dan kelompok ilmuwan. Keduanya saling berkonflik untuk memaksakan pendapat masing-masing. Kelompok ilmuwan berulang kali mengingatkan ada karet penyekat belum teruji dan bisa gagal pada peluncuran. Mereka menyarankan itu dicek ulang.

Sebaliknya, para birokrat di organisasi itu berpendapat beda. Mereka tak ingin menunda- nunda peluncuran dengan mengabaikan masalah karet itu.

Challenger dijadwalkan diluncurkan 22 Januari 1986 dan jadi mercusuar dengan program ”Teacher in Space”. Rencana itu ditunda empat kali karena berbagai soal teknis, termasuk polemik O-ring. Tekanan media dan para politisi di Gedung Putih diduga memengaruhi keputusan tetap meluncurkan Challenger.

Pengabaian saran teknis tentang karet penyekat ini, menurut Diane, menandai ada penyimpangan sosial di organisasi NASA. Penyimpangan berulang-ulang akhirnya diterima sebagai hal wajar, Normal chaos of every day life. Itu menyebabkan penyimpangan tak dilihat lagi sebagai masalah.

Sebagimana disebutkan Vaughan, penyimpangan di suatu organisasi, yang bisa diperluas dalam konsep masyarakat, pada umumnya dimulai oleh orang yang punya otoritas. Dalam hal ini, kita bisa melihat bahwa pengabaian risiko oleh pemerintah, kerapkali menjadi preseden yang diikuti oleh masyarakat.

Misalnya, pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta di zona rawan tsunami Kulonprogo. Sekalipun banyak ilmuwan sudah mengingatkan, namun bandara itu tetap di bangun di sana dengan mengabaikan zona merah ini. Belakangan, Pemerintah menyatakan, struktur bandara sudah dibangun dengan standar aman gempa dan tsunami.

Masalahnya, bagaimana dengan bangkitan ekonomi yang berpeluang tumbuh di zona merah ini? Sangat mungkin zona pesisir ini ke depan bakal tumbuh pesat, namun masyarakat yang mencontoh otoritas akan mengabaikan catatan kaki berupa syarat atau standar agar tahan gempa dan tsunami.

Lalu bagaimana jika kemudian terjadi bencana mematikan? Dalam banyak kejadian, kuasa Tuhan kemudian menjadi dalih atas kegagalan dan kemalasan kita memitigasi risiko. Bencana yang sebenarnya bisa dihindarkan jika kita tidak mengabaikan risiko kemudian diterima sebagai takdir….

Oleh AHMAD ARIF

Editor: ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Sumber: Kompas, 26 Februari 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB