“Bombatalu” di “Topalu’e”

- Editor

Rabu, 3 Oktober 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

CATATAN IPTEK
Begitu mendengar gempa dan tsunami melanda Kota Palu, Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9/2018) sore, ingatan langsung kembali ke Tanah Runtuh, kampung di tepi pantai Talise, Teluk Palu. Tahun 2012 kami berbagi kisah dengan warga tentang kampung mereka.

Kami menyampaikan data-data lama tentang sejarah perulangan gempa bumi dan tsunami sejak era kolonial, selain juga informasi tentang sesar Palu Koro yang membelah kota mereka. Salah satu tetua kampung mengaku pernah mendengar kisah dari mertuanya bahwa gempa besar memang pernah melanda. Setelah itu, air laut datang dan menghancurkan kampung mereka, sehingga sejak itu diberi nama Kampung Tanah Runtuh.

Sebagian lagi menanggapi kisah ini sebagai dongeng belaka, dan salah seorang berkata,”Setelah gempa, saat air laut mau naik ke kampung, orang-orang tua kami melempar batu tiga biji. Air tidak jadi naik.” (Kompas, 31/08/2012)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Hingga sebelum bencana melanda Palu pekan lalu, perhatian masyarakat tentang risiko gempa dan tsunami sangat minim. Survei yang dilakukan Litbang Kompas pada tahun 2011 menemukan, 63 persen responden di Kota Palu tidak tahu bahwa daerah mereka rawan bencana. Selain itu, 95 responden juga merasa aman dari risiko bencana alam.

Padahal, rekaman sejarah menunjukkan, Kota Palu, telah berulangkali dilanda gempa bumi dan tsunami. Gegar Prasetya dalam jurnal Natuzal Hazard (2001) menyebutkan, Teluk Palu dan pesisir barat Sulawesi pernah dilanda tsunami hingga 18 kali sejak 1800. Ditambah tsunami kali ini artinya sudah 19 kali dan merupakan frekuensi tsunami paling banyak di Indonesia.

Keberulangan tsunami di Palu ini sebenarnya juga terekam dalam budaya mereka. Masyarakat Palu di masa lalu memiliki istilah bombatalu, atau pukulan gelombang laut tiga kali, yang mengingatkan pada datangnya tsunami kali ini yang melanda hingga empat kali. Mereka juga punya istilah nalodo, yang berarti lenyap ditelan lumpur yang mengingatkan pada fenomena likuifaksi yang terjadi setelah gempa.

Bahkan, nama kota Palu sendiri yang berasal dari kata topalu’e, yang berarti tanah yang terangkat, menandai jejak hiperaktif geologinya. Namun demikian, pengetahuan yang diwariskan leluhur orang Palu ini, tak banyak lagi diketahui masyarakatnya.

Terputusnya pengetahuan tentang bencana di masa lalu merupakan buah dari buruknya literasi kita. Selain itu, banyak masyarakat Indonesia yang masih berpandangan bahwa bencana merupakan takdir yang harus diterima. Ini misalnya terlihat dari ungkapan penyintas tsunami yang memilih kembali tinggal di pesisir Banda Aceh, sekalipun dia telah kehilangan istri, anak dan ibunya ketika bencana 2004, “Di tepi pantai mati, di gunung pun mati. Jika sudah takdir Allah, kita tidak bisa menolaknya. Kalaupun mati, saya memilih mati di sini. Di kampung sendiri.” (Kompas, 29/12/2004)

Di pesisir Banda Aceh yang sepertiga penduduknya tersapu tsunami 2004 kini disesaki rumah-rumah baru. Sebelum tsunami, jumlah penduduknya 239.146 jiwa dan sebanyak 61.265 tewas atau hilang saat tsunami. Namun, survei tahun 2013, jumlah warganya sudah 249.282 orang dan sebagian besar kembali bermukim di tepi pantai.

Kecenderungan kembali ke tapak semula dan lekas melupakan tragedi bencana jamak terjadi di Indonesia. Itulah yang terjadi di Aceh setelah tsunami 2004. Fenomena yang sama juga terjadi di Pantai Pangandaran, Jawa Barat, setelah tsunami. Juga di Cilacap, Jawa Tengah.

Persepsi risiko bukan hanya soal dipengaruhi oleh perspektif budaya, namun juga sikap budaya yang juga dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi politik. Kebutuhan hidup sehari-hari membuat sebagian masyarakat menegosiasikan risiko bencana. Apalagi, di negeri yang memiliki 127 gunung api—terbanyak di dunia dan berada di zona tumbukan tiga lempeng tektonik besar dunia, mencari tempat yang benar-benar aman dari bencana geologi tidak mudah.

Jika memang itu pilihannya, kita perlu belajar dari cara masyarakat Pulau Simeulue dalam beradaptasi tinggal di zona bahaya. Masyarakat Simeulue yang lebih dekat dengan pusat gempa 2004 bisa menyelamatkan diri. Tak lama setelah gempa, mereka mengungsi ke tempat tinggi. Ini karena mereka punya pengetahuan tentang smong—bahasa setempat untuk tsunami—yang diwariskan turun temurun. Meski ribuan rumah hancur, ”hanya” tujuh warga Simeulue meninggal.–AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 3 Oktober 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 3 Januari 2024 - 17:34 WIB

Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB