Keterbatasan akses dan data informasi serta berkali-kali aset dan pengelolaan lahan di Papua diserahkan kepada investor membuat masyarakat sipil membangun sistem Mata Papua. Informasi dalam WebGIS ini dibangun sejumlah organisasi yang isinya berupa informasi dan peta perizinan kehutanan, tambang, perkebunan, hingga peta suku setempat.
Langkah ini diharapkan dapat membangun kesadaran masyarakat akan ruang kelolanya serta memberikan informasi bagi pengambil kebijakan sebelum menerbitkan sejumlah perizinan. Selama ini, perizinan yang diterbitkan dari balik meja pejabat kerap mengabaikan fakta masyarakat yang hidup di dalamnya.
”Rezim hari ini mendukung keterbukaan informasi publik, apalagi sektor tata kelola hutan dan lahan akan lakukan transformasi lebih transparan. Namun, realitasnya beda. Apalagi buat kami di Papua,” ujar Franky Yafet Leonard Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka, Senin (5/2) di Jakarta, dalam peluncuran matapapua.org.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
GOOGLE MAPS–Peta Provinsi Papu dan Provinsi Papua Barat
Ia mengatakan, Papua saat ini telah menjadi sasaran ekspansi industri-industri ekstraktif yang haus lahan. Kondisi ini membuat ruang hidup masyarakat adat yang umumnya masih subsisten menjadi tergusur.
Meski demikian, menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), data konflik lahan/hutan di Papua masih sangat minim. Dari ratusan konflik di sejumlah daerah, KPA hanya mencatat lima konflik yang datanya pun didapatkan dari peliputan media. Menurut KPA, data ini tak rasional mengingat tren pengembangan industri ekstraktif mengarah ke timur, termasuk Papua.
Yafet menyebutkan, sumber data dan informasi dalam matapapua.org ini berasal dari jejaring masyarakat sipil di Papua. Ia mengatakan, data pelepasan kawasan hutan dan pertambangan, termasuk kontrak karya, sudah update. Hanya saja, untuk izin pembalakan kayu diakui belum update.
Yafet menuturkan, konsesi pertambangan penyumbang terbesar penguasaan lahan dengan area total seluas 9 juta hektar. Kemudian, konsesi pembalakan seluas 6 juta-7 juta hektar serta perkebunan mencapai 2,1 juta hektar. Peta ini, lanjutnya, seiring dengan semangat Satu Peta yang hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah.
Ke depan, ujarnya, informasi dalam webGIS dilengkapi dengan berbagai data pendukung perizinan, seperti izin lingkungan, izin prinsip, dan izin lokasi, yang berasal dari pemerintah daerah. ”Kami meminta dukungan teman-teman kerja jaringan untuk melengkapi data terkait izin ini,” ucapnya.
Charles Tawaru dari Papua Forest Watch mengungkapkan, sebagian peta masyarakat diperoleh melalui pemetaan partisipatif. Peta ini paling tidak bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa ada masyarakat adat yang hidup di kampung-kampung pedalaman Papua.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 5 Februari 2018