Sebagian besar komponen plasma dari darah para penyumbang terbuang begitu saja. Padahal, jika plasma darah diolah lebih lanjut, itu bisa menghasilkan produk darah lain yang amat berguna dalam pengobatan penyakit berat.
Ria Syafitri, Direktur Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia (PMI) menyampaikan hal itu pada forum APEC Blood Safety Policy Forum ke-4 di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Rabu (13/12).
Darah hasil donor terdiri atas beberapa komponen yang masing-masing bisa dimanfaatkan bagi kesehatan. Tidak setiap pasien yang butuh darah memerlukan semua komponen darah. Komponen darah yang selama ini banyak terbuang adalah plasma darah. Penggunaan plasma darah hanya 10-20 persen. ”Tahun 2016 saja plasma darah yang terbuang sebanyak 93.000 liter,” kata Ria.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, jika plasma darah diolah (difraksinasi), bisa dihasilkan beberapa produk darah, seperti Human Albumin, Faktor VIII, Faktor IX, dan immunoglobulin G (IgG). Produk darah itu amat dibutuhkan untuk pengobatan penyakit berat, luka bakar, penyakit terkait imunosupresan, dan hemofilia.
Selama ini, mayoritas produk darah hasil fraksinasi yang dipakai pasien penyakit berat di Indonesia adalah impor. Dengan demikian, jika fraksionasi bisa dilakukan sendiri di dalam negeri, hal itu akan mengurangi ketergantungan impor.
Namun, fraksinasi memerlukan plasma darah yang bermutu dan industri fraksionator. Tidak semua unit transfusi darah mampu memproduksi plasma darah yang berkualitas.
Dari 221 unit transfusi darah (UTD) yang dimiliki PMI, baru enam unit yang menjalani akreditasi praktik pemrosesan yang baik (good manufacture product/ GMP) yang ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dari enam UTD itu, baru satu unit, yakni UTD PMI Surabaya, yang menerima sertifikat GMP. Setelah enam UTD itu menerima sertifikat GMP, 15 UTD lain disiapkan untuk menjalani akreditasi GMP agar PMI menghasilkan plasma darah bermutu.
Berdasarkan Peta Jalan Industri Farmasi Indonesia diproyeksikan memiliki industri fraksinator pada 2021.
Jamin ketersediaan
Sementara Industry Chair APEC Blood Safety Network, Jerry Holmberg, mengatakan, dalam isu darah, negara-negara APEC tak hanya menghadapi masalah keamanan darah yang didonorkan, tetapi juga ketersediaan atau kecukupannya. Dua hal itu umumnya menjadi persoalan di negara berpendapatan menengah ke bawah.
Jerry menambahkan, darah amat esensial bagi manusia. Setiap orang pasti memiliki pengalaman dengan transfusi darah dalam hidupnya. Karena itu, memastikan darah tersedia dan berkualitas menjadi amat penting.
Ria menambahkan, tiap UTD wajib menapis darah yang didonorkan, meliputi penyakit hepatitis B, hepatitis C, HIV, dan sifilis. Terkait pemenuhan kebutuhan, sejauh ini secara nasional sekitar 90 persen kebutuhan darah nasional bisa dipenuhi.
Seusai membuka acara APEC kemarin, Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek memaparkan, jumlah kecelakaan lalu lintas bisa mencapai 26.000 kasus dalam setahun. Itu memerlukan banyak darah. Karena itu, masyarakat diharapkan sukarela menjadi penyumbang darah.
Selain kecelakaan lalu lintas, sejumlah masalah kesehatan juga membutuhkan transfusi darah dalam jumlah banyak. Beberapa masalah kesehatan tersebut di ataranya kasus penyakit dalam, melahirkan, dan talasemia. (ADH)
Sumber: Kompas, 14 Desember 2017