Demam berdarah dengue bisa menyebabkan kebocoran plasma yang mengandung air, gula, dan elektrolit dari pembuluh darah. Itu bisa menyebabkan kematian. Pemeriksaan demam berdarah dengue tak cukup lagi dengan melihat jumlah trombosit.
Demikian disampaikan dokter spesialis penyakit dalam dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, Leonard Nainggolan, dalam acara peringatan Hari Demam Berdarah Dengue ASEAN, di Jakarta, Selasa (10/6). Selain Nainggolan, hadir Kepala Subdirektorat Arbovirosis, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan, Endang Burni Prasetyowati.
Menurut Nainggolan, gejala demam berdarah dengue (DBD) yang biasa muncul adalah demam akut (2-7 hari), sakit kepala, nyeri otot, nyeri tulang, ruam di kulit, dan tanda perdarahan. Jika diperiksa laboratorium, jumlah leukosit pasien DBD kurang dari 5.000/mm3, trombosit kurang dari 100.000/mm3, dan darahnya lebih pekat yang ditandai hematokrit (proporsi volume darah) meningkat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal terpenting, kata Nainggolan, infeksi DBD bisa menyebabkan merenggangnya sel endotel pembuluh darah kapiler sehingga memungkinkan molekul sebesar dua nanometer dari pembuluh darah bocor ke luar. Plasma yang merupakan 55 persen dari volume total darah bisa bocor dari pembuluh darah.
Plasma sendiri terdiri dari 91 persen air, 7 persen protein darah, dan 2 persen nutrisi. ”Bocornya plasma dapat terjadi pada hari keempat sampai kelima setelah terkena DBD. Inilah yang fatal bagi pasien,” kata dia.
Saat terjadi kebocoran plasma, darah kian pekat, alirannya melambat. Suplai oksigen ke organ tubuh pun berkurang, dan sel serta jaringan pada organ tubuh bisa mati. Bahkan, sel darah bisa bocor dan menyebabkan perdarahan di bawah kulit.
Oleh karena itu, pasien DBD amat dianjurkan minum air mengandung gula dan elektrolit untuk menggantikan plasma yang bocor dari pembuluh darah. Elektrolit juga akan mempermudah penyerapan air di usus.
Sementara itu, Endang memaparkan, Indonesia yang berada di wilayah beriklim tropis sangat kondusif bagi penyebaran penyakit menular seperti DBD, malaria, dan tuberkulosis. Mobilitas penduduk, kepadatan penduduk, dan perilaku hidup tak sehat turut menjadi faktor risiko bertambahnya kasus penyakit menular, termasuk DBD.
Siklus ledakan kasus DBD lima tahunan sudah tak terjadi lagi. Setiap tahun, kasus DBD selalu saja banyak. Tahun 2012, misalnya, ada 90.245 kasus DBD di Indonesia. Tahun 2013 jumlahnya naik menjadi 112.511 kasus.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terdapat 50 juta-100 juta kasus DBD di dunia. Sekitar 75 persen di antaranya berasal dari Asia Pasifik. (ADH)
Sumber: Kompas, 11 Juni 2014