Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengimbau masyarakat agar tidak perlu khawatir terhadap fenomena ekuinoks. Fenomena periodik yang berlangsung dua kali dalam setahun itu lumrah terjadi dan tidak selalu mengakibatkan peningkatan suhu ekstrem.
Imbauan disampaikan Deputi Bidang Meteorologi BMKG Mulyono Rahadi Prabowo dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (25/3/2019). Imbauan itu menanggapi beredarnya informasi bahwa ekuinoks menyebabkan sun stroke dan dehidrasi karena suhu ekstrem.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO–Matahari bersinar cerah di langit Bandung, Jawa Barat, Minggu (24/3/2019). Fenomena ekuinoks atau posisi matahari tepat di atas garis khatulistiwa terjadi puncaknya pada 21 Maret 2019 yang berdampak terhadap meningkatnya suhu udara hingga 40 derajat celsius.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mulyono ketika dikonfirmasi mengemukakan, matahari dan bumi memiliki jarak paling dekat saat ekuinoks berlangsung. Hal itu membuat wilayah tropis sekitar ekuator akan mendapatkan sinar matahari maksimum.
Ekuinoks merupakan salah satu fenomena astronomi ketika matahari melintasi garis khatulistiwa. Fenomena ini secara periodik berlangsung dua kali dalam setahun, yaitu 21 Maret dan 23 September.
Meskipun demikian, kata Mulyono, fenomena itu tidak selalu menyebabkan peningkatan suhu udara secara drastis ataupun ekstrem. Secara umum, rata-rata suhu maksimum di wilayah Indonesia berkisar 32-36 derajat celsius. Berdasarkan pengamatan BMKG, suhu maksimum tertinggi, yaitu 37,6 derajat celsius, terjadi pada 23 Maret 2019 di Meulaboh, Aceh.
”Ekuinoks bukan fenomena seperti gelombang panas atau heat wave seperti terjadi di Eropa, Afrika, dan Amerika yang merupakan fenomena peningkatan suhu udara ekstrem di luar kebiasaan dan berlangsung dalam waktu cukup lama,” kata Mulyono.
Oleh karena itu, Mulyono mengimbau masyarakat tidak khawatir. Secara umum, kondisi cuaca di wilayah Indonesia cenderung masih lembab atau basah. Beberapa wilayah Indonesia saat ini sedang memasuki periode transisi atau pancaroba.
”Namun, ada baiknya masyarakat tetap mengantisipasi kondisi cuaca yang cukup panas dengan meningkatkan daya tahan tubuh dan tetap menjaga kesehatan keluarga serta lingkungan,” ujar Mulyono.
Lebih panas
Dampak ekuinoks pun dirasakan masyarakat di daerah-daerah di Indonesia. Ariyanti (27), warga Tomang, Jakarta Barat, mengaku suhu di sekitar tempat tinggalnya memang lebih panas dibandingkan dengan biasanya. Kondisi itu dia alami dalam seminggu terakhir. Meskipun tidak mengetahui pasti besaran suhunya, kondisi paling panas dirasakan pada 21 Maret 2019.
Ariyanti menuturkan, biasanya cahaya matahari terbit hanya sampai di jendela kamar. Akhir-akhir ini cahayanya sampai masuk ke dalam kamar. Selain itu, karyawan swasta ini juga merasa lebih cepat haus dibandingkan dengan biasanya.
”Akhir-akhir ini cahaya matahari pagi memang lebih menyengat. Saya beberapa kali sempat dehidrasi, tetapi kondisi tubuh tidak sampai turun,” kata Ariyanti.
DOKUMENTASI PRIBADI–Ariyanti (27), warga yang berdomisili di Tomang, Jakarta Barat, mengabadikan momentum cuaca yang lebih cerah pada masa ekuinoks, Jakarta, Senin (25/3/2019), sekitar pukul 08.00.
Hal senada diungkapkan pula oleh Hera Gusmayanti Sujiman, warga Padang Sidimpuan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Dihubungi dari Jakarta, Hera mengaku suhu yang lebih panas ia rasakan sejak dua minggu lalu.
”Paling panas Sabtu dan Minggu lalu. Rasanya saya sudah minum banyak, tetapi kulit tetap kering,” kata Hera.
Saat ini, Hera masih merasakan suhu yang lebih panas dibandingkan dengan biasanya, tetapi tidak sepanas Sabtu dan Minggu kemarin. Menurut Hera, cuaca di sekitar kantornya Senin siang cerah dengan suhu mencapai 30 derajat celsius.
Meskipun lebih gampang dehidrasi, Hera tidak terlalu khawatir terhadap fenomena ekuinoks. Dia menyikapi kondisi itu dengan lebih banyak minum dan mengurangi aktivitas di luar ruangan.
Hilangnya bayangan
Selain suhu yang lebih panas, ekuinoks juga memunculkan fenomena unik. Ketika tengah hari atau saat matahari ada di atas kepala, semua benda yang ada di sepanjang garis khatulistiwa kehilangan bayangannya. Berita Kompas hari ini menyebutkan matahari tepat berada di atas khatulistiwa pada Kamis, 21 Maret 2019.
Hilangnya bayang-bayang itu terjadi karena bayangan jatuh tegak lurus di bawah kaki atau sebuah benda. Namun, kondisi itu hanya berlangsung saat matahari tepat berada di atas kepala, bukan sepanjang hari.
Beberapa kota di Indonesia yang ada di garis khatulistiwa dan mengalami fenomena itu pada 21 Maret lalu antara lain Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat; Pontianak, Kalimantan Barat; Parigi Moutong, Sulawesi Tengah; dan Pulau Kayoa, Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Tahun 2019, matahari tepat berada di atas khatulistiwa pada Kamis (21/3/2019), pukul 04.58. Posisi matahari di atas khatulistiwa bervariasi antara 19 Maret dan 21 Maret setiap tahun.
Menurut timeanddate.com, pada Kamis lalu matahari tepat di atas kepala terjadi pukul 11.49 WIB di Pontianak, pukul 12.20 WIB di Bonjol, pukul 12.06 Wita di Parigi Moutong, dan pukul 12.37 WIT di Pulau Kayoa. (YOLA SASTRA)
Oleh HAMZIRWAN HAMID
Sumber: Kompas, 25 Maret 2019