Daerah-daerah di Palu dan Sigi yang dilanda likuifaksi merupakan daerah-daerah yang relatif baru dihuni. Selain berada di jalur patahan, tanah di kawasan itu memiliki endapan yang tebal.
Likuifaksi setelah gempa bumi berkekuatan M 7,4 di Palu, Sulawesi Tengah bukan sekali ini terjadi. Bencana ini telah berulangkali melanda dimasa lalu, sehingga masyarakat Palu memiliki istilah sendiri untuk itu, yaitu nalodo. Fenomena ini bisa terjadi lagi di lokasi yang sama jika gempa kembali terjadi.
Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, likuifaksi atau berubahnya tanah menjadi lumpur sehingga menelan bangunan di atasnya, terjadi di empat lokasi. Dua di antaranya di Kota Palu, yaitu Kelurahan Petobo dan Jalan Dewi Sartika di Palu Selatan. Dua lainnya di Kabupaten Sigi, yaitu Biromaru dan Desa Sidera.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Potret dari udara Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Palu, Sulawesi Tengah, yang tertimbun lumpur, Selasa (2/10/2018). Diperkirakan masih ada warga terkubur lumpur akibat fenomena likuifaksi setelah gempa pada Jumat (28/9/2018).
Bencana kedua yang melanda setelah guncangan gempa ini yang terparah terjadi di Perumnas Balaroa, di Palu Barat yang berjarak sekitar 2,6 kilometer dari laur Sesar Palu-Koro. Sebanyak 1.747 rumah di kawasan ini rusak. Sedangkan di Kelurahan Petobo Palu Selatan, yang berjarak 1 kilometer dari jalur Sesar Palu-Koro, sebanyak 744 rumah rusak.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Buku dan kalender yang tersisa daru rumah yang luluh lantak akibat likuifaksi yang dipicu gempa besar di Petobo, Palu Selatan, Kota Palu, Senin (1/10/2018).
Arkeolog yang juga Wakil Kepala Museum Daerah Sulawesi Tengah Iksam mengatakan, daerah-daerah yang sekarang dilanda likuifaksi ini sebenarnya relatif baru dihuni.
“Daerah Biromaru dan Petobo itu waktu saya kecil masih rawa-rawa karena itu bekas endapan sungai purba. Tetapi belakangan kemudian diurug dan ditempati banyak rumah,” kata Iksam, yang tinggal di Kelurahan Donggala Kodi, Kecamatan Ulu Jadi, Palu.
Iksam mengatakan, rumahnya hanya sekitar 200 meter dari Perumnas Balaroa yang amblas ditelan bumi. “Kami sangat beruntung karena masih terhindar dari bencana. Tetapi, ini jadi pelajaran penting untuk melihat kembali sejarah bencana karena kejadian ini sebenarnya sudah berulang,” kata dia.
Padahal, menurut Iksam, nenek moyang orang Palu sebenarnya telah merekam kejadian gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi ini dalam istilah lokal, yang menandakan bahwa mereka telah mengenalinya sejak lama. Gempa disebut linu, sedangkan tsunami bombatalu atau gelombang yang memukul tiga kali, sedangkan likuifaksi disebut dengan istilah nalodo yang berarti amblas dihisap lumpur.
Paling Parah
Fenomena likuifaksi setelah gempa bumi sebenarnya kerap terjadi, termasuk di Aceh tahun 2004 dan Pidie Jaya tahun 2016. Namun demikian, fenomena di Palu ini termasuk yang paling parah di Indonesia, bahkan di dunia.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Mobil dan rumah yang luluh lantak akibat likuifaksi yang dipicu gempa besar di Petobo, Palu Selatan, Kota Palu, Senin (1/10/2018).
Peneliti Madya Bidang Geoteknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adrin Tohari mengatakan, likuifaksi tanah di Kota Banda Aceh seusai gempa tahun 2004 rata-rata sekitar 40 cm. Sementara di Petobo dan Balaroa diperkirakan bisa mencapai lebih dari lima meter dengan luasan daerah yang besar.
Fenomena likuifaksi terjadi ketika goncangan gempa meningkatkan tekanan air tanah. Hal ini membuat partikel tanah yang berpasir berubah karakteristik menjadi seperti cairan dan bergerak mengalir. “Secara ilmiah diartikan hilangnya kekuatan lapisan tanah pasir lepas akibat kenaikan tekanan air pada saat gempa bumi kuat dengan durasi lama,” katanya.
Ia menuturkan, likuifaksi bisa terjadi akibat berbagai macam goncangan yang kuat, seperti gempa tektonik, gempa vulkanik, dan gempa akibat uji coba nuklir bawah laut. “Untuk kejadian gempa teknonik di Palu ini merupakan fenomena likuifaksi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia, bahkan dunia,” kata dia.
Ahli geofisika dari Institut Teknologi Bandung, Anggoro S Dradjat mengatakan, batuan di daerah Palu umumnya bersifat ductile atau lentur yang dilapisi tanah aluvial atau endapan. Saat terjadi gempa dengan magnitudo yang relatif besar, daerah yang tersusun oleh lapisan kipas aluvial yang tebal mengalami amplifikasi atau penguatan gelombang.
“Likuifikasi umumnya terjadi di daerah dekat patahan Palu Koro antara dua bukit yang merupakan bagian ujung endapan kipas aluvial yang didominasi batuan pasir dan lempung,” kata dia.
Ahli Geologi Universitas Gadjah Mada Subagyo Pramumijoyo mengatakan, dari penelitian yang dilakukan sejak taun 2005, diketahui bahwa daerah sepanjang Teluk Palu memiliki ketebalan sedimen hingga 170 meter. Kondisi ini membuat Palu sebenarnya tidak aman untuk dijadikan tempat tinggal karena berpotensi terjadi likuifaksi saat terjadi gempa.
Dikosongkan
Fenomena likuifaksi ini bisa menyebabkan bangunan menjadi amblas seperti terhisap oleh tanah. Selain amblas, bangunan juga bisa tumbang. Likuifaksi sifatnya tidak menghancurkan bangunan tetapi lebih merusak fondasi dari bangunan sehingga tidak jarang bangunan menjadi miring hingga roboh. “Sampai saat ini belum ada teknologi untuk mengatasi likuifaksi ini,” kata Anggoro.
Melihat dampak dari fenomena ini, menurut Adrin, cara yang paling tepat untuk mengatisipasinya adalah dengan mengosongkan wilayah yang sekarang mengalami likuifaksi. Wilayah yang sudah pernah terdampak likuifaksi memiliki kemungkinan mengalami kejadian yang sama ketika terjadi goncangan yang kuat lagi. Untuk itu, zona rawan likuifaksi dikatakan tidak layak huni. “Jika pun masih mau dihuni, butuh teknologi yang cukup mahal untuk mengubah tanah agar lebih padat,” ujarnya.
Kepala Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Arief Sabarudin juga mengemukakan hal senada. Zona patahan harus dihindari dengan mengatur tata ruangnya. Bila ada bangunan di atasnya harus direlokasi. Penyusunan tata ruang sebaiknya mempertimbangkan potensi bencana ini.
Apabila tetap membangun di zona patahan yang rentan likuifaksi ini harus menggunakan konstruksi sarang laba-laba atau cakar ayam. Sekalipun demikian, menurut Arief, tetap ada potensi bangunan akan miring atau tenggelam begitu terjadi likuifaksi, apalagi jika sangat dalam seperti terjadi di Palu. Ketika bangunan miring dengan kemiringan melampaui yang diijinkan pada akhirnya bangunan dapat roboh juga.
Tak hanya di Palu, kota-kota lain di Indonesia sebenarnya diketahui pernah mengalami likuifaksi setelah gempa di antaranya, Banda Aceh, Padang, Cilacap, dan Bantul. Namun, masih banyak lagi daerah lain yang belum dipetakan, padahal diduga berpotensi tinggi karena tanahnya memiliki endapan tebal.
“Pemetaan ini bisa membantu pemerintah untuk melakukan tata ruang yang tepat agar mengurangi risiko bencana,” ujar Adrin.
Menurut Adrin, untuk mendeteksi potensi likuifaksi harus melalui penelitian dan investigasi khusus di daerah sasaran. Investigasi ini untuk mengetahui uji profil kepadatan lapisan tanah, jenis tanah, tebal tanah, serta muka air tanah. “Dengan memasukkan parameter kekuatan gempa, identifikasi yang sudah dilakukan tadi sekaligus bisa mengetahui ketebalan lapisan yang rentan likuifaksi dan kedalaman likuifaksi itu sendiri,” katanya.
Belajar dari Palu, kita sepertinya harus lebih banyak lagi menginvestasikan kajian-kajian aplikatif untuk mengetahui kerentanan kota-kota kita, termasuk di antaranya dari ancaman bahaya likuifaksi yang bisa sangat mematikan.(DEONISIA ARLINTA/YUNI IKAWATI)–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 3 Oktober 2018