Fenomena likuifaksi atau tanah mengalir yang terjadi akibat gempa bumi bermagnitudo 7,4 di Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah menimbulkan banyak korban jiwa. Sebagian besar bangunan di daerah terdampak pun amblas bahkan ‘tenggelam’ di dalam tanah. Fenomena ini bisa berulang di daerah yang sama sehingga daerah tersebut sebenarnya tidak layak huni.
Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, likuifaksi terjadi di empat tempat, yakni di Kelurahan Petobo, Kota Palu; Jalan Dewi Sartika,Palu Selatan, Biromaru, Kabupaten Sigi; dan Desa Sidera, Kabupaten Sigi. Untuk daerah Petobo, Biromaru, Jono Oge, dan Sidera diperkirakan banyak korban terendam lumpur setinggi sekitar tiga meter. Sementara sebagian Kota Palu tertimbun lumpur hitam setinggi lima meter.
Selain itu, fenomena likuifaksi di Perumnas Balaroa, berjarak sekitar 2,6 kilometer dari laur Sesar Palu-Koro, mengakibatkan 1.747 rumah rusak. Di Perumnas Petobo, berjarak 1 kilometer dari jalur Sesar Palu-Koro mengakibatkan 744 rumah rusak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peneliti Madya Bidang Geoteknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adrin Tohari saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (2/10/2018) menyebutkan, fenomena likuifaksi terjadi ketika goncangan gempa meningkatkan tekanan air tanah dan membuat partikel tanah yang berpasir berubah karakteristik menjadi seperti cairan dan bergerak mengalir. “Secara ilmiah diartikan hilangnya kekuatan lapisan tanah pasir lepas akibat kenaikan tekanan air pada saat gempa bumi kuat dengan durasi lama,” katanya.
Ia menuturkan, likuifaksi bisa terjadi akibat berbagai macam goncangan yang kuat, seperti gempa tektonik, gempa vulkanik, dan gempa akibat uji coba nuklir bawah laut. Untuk kejadian gempa teknonik di Palu dan Donggala, Adrin menilai, fenomena likuifaksi yang terjadi cukup besar dibanding dengan peristiwa yang pernah terjadi di Indonesia, bahkan dunia.
Pemetaan daerah likuifaksi memang belum dilakukan di Palu. Namun, jika dibandingkan dengan daerah lain, seperti Banda Aceh, Aceh, penurunan tanah yang terjadi seusai gempa sekitar 40 cm. Sementara di Petobo dan Balaroa diperkirakan bisa mencapai lebih dari lima meter dengan luasan daerah yang besar. “Diperkirakan terjadi karena daerah ini dekat dengan pusat gempa,” ucap Adrin.
Fenomena likuifaksi ini bisa menyebabkan bangunan menjadi amblas seperti terhisap oleh tanah. Selain amblas, bangunan juga bisa tumbang. Likuifaksi sifatnya tidak menghancurkan bangunan tetapi lebih merusak fondasi dari bangunan sehingga tidak jarang bangunan menjadi miring ataupun tumbang.
Melihat dampak dari fenomena ini, cara yang paling tepat untuk mengatisipasinya adalah dengan mengosongkan wilayah tersebut. Adrin mengatakan, wilayah yang sudah pernah terdampak likuifaksi memiliki kemungkinan mengalami kejadian yang sama ketika terjadi goncangan yang kuat. Untuk itu, zona rawan likuifaksi dikatakan tidak layak huni. “Jika pun masih mau dihuni, butuh teknologi yang cukup mahal untuk mengubah tanah agar lebih padat,” ujarnya.
Ia menambahkan, likuifaksi tidak bisa dideteksi sebelum goncangan gempa terjadi kecuali melalui penelitian dan investigasi khusus di daerah sasaran. Investigasi dilakukan untuk mengetahui uji profil kepadatan lapisan tanah, jenis tanah, tebal tanah, serta muka air tanah. “Dengan memasukkan parameter kekuatan gempa, identifikasi yang sudah dilakukan tadi sekaligus bisa mengetahui ketebalan lapisan yang rentan likuifaksi dan kedalaman likuifaksi itu sendiri,” katanya.
Sayangnya, mitigasi bencana melalui pemetaan daerah rawan likuifaksi ini belum dilakukan secara optimal. Adapun daerah yang sudah dipetakan, yaitu Banda Aceh, Aceh; Padang, Sumatera Barat; Cilacap, Jawa Tengah; dan Bantul, Yogyakarta. “Pemetaan ini bisa membantu pemerintah untuk melakukan tata ruang yang tepat agar mengurangi risiko bencana,” ujar Adrin.–DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 3 Oktober 2018