Komet Hale-Bopp, Keindahanan nan Tragis

- Editor

Senin, 19 November 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Komet Hale-Bopp memang telah lebih dari 20 tahun mendekati Bumi. Namun, kisah perjalanannya tetap dikenang hingga kini. Tak hanya tentang keindahannya yang spektakuler karena terlihat dengan mata telanjang selama 18 bulan, tetapi juga sejumlah peristiwa tragis yang menyertai penampakannya.

Masyarakat Jawa mengenal komet sebagai lintang kemukus alias bintang berekor. Julukan itu disematkan karena saat mendekati Matahari, inti komet yang berupa kumpulan debu dan es akan terbakar sehingga menghasilkan pancaran gas dan debu yang terlihat seperti ekor bintang.

Komet Hale-Bopp mencapai titik terdekatnya dengan Matahari pada akhir Maret hingga awal April 1997. Saat itu, komet terlihat sebagai bulatan kecil cahaya dengan ekor yang panjang. Magnitudo atau tingkat kecerlangan komet mencapai minus 2 hingga minus 1 atau setara dengan kecerlangan Planet Saturnus.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dengan kecerlangan sebesar itu, wajar jika Hale-Bopp bisa diamati dengan mata telanjang. Bahkan, Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) menyebut komet itu bisa diamati di langit kota Chicago yang terang.

WIKIPEDIA–Citra komet Hale-Bopp atau C/1995 O1 yang yang diambil oleh E Kolmhofer dan H Raab dari Observatorium Johannes Kepler, Linz, Austria, pada 4 April 1997.

Selama lima bulan pertama 1997, komet hanya terlihat di belahan Bumi utara. Setelah itu, komet terlihat di belahan Bumi selatan hingga November 1997.

Sejumlah astronom di Observatorium Bosscha, Lembang, Jawa Barat, juga melaporkan melihat Hale-Bopp pada awal Mei 1997. Pada saat bersamaan, seperti dikutip Kompas, 15 Juni 1997, komet itu juga disaksikan sejumlah pihak di beberapa daerah, termasuk para nelayan di Weleri, Jawa Tengah.

Komet Hale-Bopp pertama kali ditemukan pada 23 Juli 1995 oleh dua astronom amatir secara terpisah, yaitu Alan Hale di New Mexico, AS, dan Thomas Bopp di Arizona, AS, yang terpisah jarak sejauh 650 kilometer. Mereka menemukan komet itu setelah mengarahkan teleskop ke gugus bola (globular cluster) M70 yang ada di rasi Sagittarius.

”Saat mengamati daerah sekitar M70, saya menemukan adanya obyek kabur di dekatnya. Padahal, beberapa minggu sebelumnya, obyek itu belum ada,” kata Hale seperti dikutip dari majalah Time, 17 Maret 1997. Setelah diamati beberapa lama, obyek itu ternyata bergerak. Kondisi itulah yang membuat Hale yakin benda itu adalah komet.

WIKIPEDIA–Animasi orbit komet Hale-Bopp saat mendekati Matahari antara 1 Januari 1996 dan 1 Januari 2002 yang dibuat Laboratorium Propulsi Jet (JPL) Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA). Bulatan kuning di tengah menunjukkan Matahari. Adapun bulatan dan garis biru muda menunjukkan Merkurius, merah Venus, biru tua Bumi, kuning Mars, dan hijau Jupiter. Sementara bulatan dan garis ungu menandakan komet Hale-Bopp.

Pada saat bersamaan, Bopp juga mengamati obyek tersebut. Keduanya kemudian melaporkan hasil pengamatannya itu ke Biro Pusat Telegram Astronomi yang berada di bawah Perhimpunan Astronomi Internasional (IAU) dan hanya beberapa jam kemudian diumumkan sebagai komet.

Para astronom di IAU terkejut dengan terangnya obyek yang dilaporkan Hale dan Bopp. Dari parameter orbit yang diperoleh, komet yang semula dinamai C/1995 O1 itu dilaporkan dari daerah yang sangat jauh dari Matahari. Komet itu butuh 4.206 tahun untuk sekali mengitari orbitnya.

Kecerlangan komet itu diharapkan makin terang saat mendekati Bumi. Karena benda itu hanyalah gumpalan es dan debu, banyak yang khawatir komet itu akan menguap habis akibat terbakar panas Matahari. Belum lagi, diameternya cukup kecil untuk ukuran benda langit, yaitu 40 kilometer.

Namun, Bambang Hidayat dalam ”Komet Hale-Bopp yang Enigmatik” di Kompas, 23 Februari 1997, menyebut diameter Hale-Bopp sudah cukup besar untuk ukuran komet. Dari seluruh komet yang tercatat, sangat sedikit komet yang memiliki diameter lebih dari 20 kilometer.

Hale-Bopp mencapai titik terdekatnya dengan Bumi pada 1 April 1997. Saat itu, dia berada pada jarak 135 juta kilometer dan akan mencapai kembali titik terdekat itu pada 2.380 tahun berikutnya. Perubahan periode orbit yang lebih pendek itu, terpangkas dari semula 4.206 tahun, terjadi akibat selama di bagian dalam Tata Surya, orbit Hale-Bopp terganggu oleh tarikan gravitasi Jupiter.

Histeria
Kemunculan komet Hale-Bopp ketika itu menjadi isu yang ramai di sejumlah media, seperti ditulis Elizabeth Howell di space.com, 13 November 2018. Kabar tentang Hale-Bopp juga ramai di internet, media yang saat itu baru muncul dan berkembang.

Scientific American, Maret 1997, menuliskan tingginya perhatian masyarakat terhadap Hale-Bopp membuat banyak situs internet termasuk di internet yang baru berkembang. Bahkan salah satu situs tentang Hale-Bopp yang dibuat Laboratorium Propulsi Jet (JPL) NASA dikunjungi 1,2 juta orang sehari saat puncak penampakan Hale-Bopp.

Tak hanya masyarakat dan astronom amatir yang tertarik melihat Hale-Bopp, astronom profesional di sejumlah negara pun berlomba untuk mengabadikannya. Teleskop yang digunakan pun bukan hanya teleskop landas Bumi, tetapi juga teleskop luar angkasa milik NASA, Hubble.

JPL.NASA.GOV–Komet Hale-Bopp yang diabadikan Wally Pacholka dari Taman Nasional Joshua Tree, California, Amerika Serikat, pada 5 April 1997.

Hal yang paling mengejutkan bagi banyak astronom adalah aliran debu yang memancar dari inti komet. Jumlah debu yang disemburkan itu diperkirakan minimal delapan kali lebih banyak dibanding yang diamati dari komet lainnya.

”Permukaan inti komet Hale-Bopp sangat dinamis akibat aliran material es yang seperti baru terbakar untuk pertama kalinya saat mendekati Matahari,” ujar Harold Weaver, ahli astrofisika dari Universitas Johns Hopkins, Baltimore, AS.

Menurut Mochamad Irfan, peneliti Observatorium Bosscha yang pada 1997 masih menjadi mahasiswa Astronomi Institut Teknologi Bandung, Hale-Bopp dengan mata telanjang terlihat seperti gumpalan kapas di langit senja. Dari hasil pemotretan, komet ini terlihat memiliki ekor yang panjang.

Meski demikian, histeria menyambut kehadiran Hale-Bopp itu tak selamanya berisi keingintahuan, kekaguman, atau perburuan untuk menyaksikan langsung komet. Keunikan komet ini, baik kecerlangan maupun periodenya yang panjang, banyak dikaitkan dengan sejumlah kekuatan supernatural atau adikodrati.

Sekte Pintu Surga alias Heaven’s Gate di AS meyakini datangnya Hale-Bopp diikuti dengan pesawat luar angkasa yang ditumpangi makhluk luar angkasa alias alien. Komet ini juga diyakini sebagai utusan kosmis yang memanggil mereka untuk menuju ke dunia lain.

Oleh karena itu, jelang Hale-Bopp mendekati titik terdekatnya dengan Matahari, kelompok sekte Pintu Surga melakukan bunuh diri massal. Sebanyak 39 orang anggota sekte yang terdiri dari 21 perempuan dan 18 laki-laki tewas bunuh diri di sebuah rumah mewah di Rancho, Santa Fe, California, AS, pada 26 Maret 1997.

Mereka bunuh diri dengan menggunakan hem bersaku besar, celana panjang, dan sepatu yang semua serba berwarna hitam. Sementara wajah mereka ditutupi menggunakan kain kafan ungu.

Kompas 29 Maret 1997 mencatat, anggota sekte Pintu Surga bunuh diri dengan memakan puding yang diberi saus apel yang telah dicampur dengan phenobarbital, obat untuk mengatasi kejang, dan meminum vodka. Reaksi antara phenobarbital dan alkohol itu bisa menimbulkan ketergantungan, overdosis, hingga kematian.

Di antara korban tewas bunuh diri itu adalah pimpinan sekte Marshall Applewhite, mantan profesor musik, orang yang memercayai keberadaan makhluk luar angkasa alias alien dan obyek terbang tak dikenal (UFO). Applewhite juga menyarankan pengikutnya untuk pantang berhubungan seksual dan telah mengebiri dirinya guna menghilangkan dorongan seksual.

HEAVENSGATE.COM–Logo Sekte Heaven’s Gate

Budaya
Selain itu, sebagian budaya meyakini kehadiran komet atau bintang berekor sebagai pertanda akan terjadi sesuatu yang besar, bisa bencana, wabah, atau kematian. Itu tentu bukan pandangan astronom, melainkan ahli astrologi atau astrolog dan budayawan.

Jatuhnya Jerusalem pada tahun 70 sebelum Masehi didahului oleh kemunculan sebuah komet empat tahun sebelumnya. Demikian pula letusan Gunung Vesuvius di Italia tahun 79 yang mengubur kota Pompeii yang diawali dengan munculnya komet. Peristiwa serupa menandai terjadinya wabah pes yang menewaskan sekitar 100.000 orang atau seperempat warga London, Inggris, pada 1665.

Dalam budaya Jawa, kemunculan komet juga memiliki pemaknaan yang hampir sama. Ni Nyoman Dhitasari dalam ”Komet van Java: Lintang Kemukus dan Legenda Keris” di langitselatan.com, 24 Oktober 2015, menulis adanya sebuah mitos pada zaman Majapahit tentang sebuah cahaya terang yang melesat ke angkasa hingga terlihat seperti berekor.

Cahaya terang itu berasal dari keris Kyai Condong yang kalah dalam sebuah pertarungan melawan keris lain. Namun, sebelum melesat ke angkasa, keris Kyai Condong bersumpah akan kembali setiap 500 tahun sekali dan membawa ontran-ontran atau kekacauan di tanah Majapahit. Sumpah itulah yang membuat sebagian orang percaya kemunculan komet akan menimbulkan bencana.

RM Ng Tiknopranoto dan R Mardisuwignya dalam ”Sejarah Kutha Sala: Kraton Sala, Bengawan Salam Gunung Lawu”, 1970-1979, memaknai kehadiran komet sesuai arah kemunculannya. Komet yang muncul dari delapan arah mata angin berbeda memiliki makna berbeda, baik bagi raja maupun rakyatnya. Namun, sebagian besar pemaknaan atas munculnya komet itu bernada negatif.

Keyakinan tersebut masih muncul di era Indonesia merdeka. Kemunculan komet Ikeya-Seki pada September 1965 yang berwarna merah dikaitkan dengan tragedi berdarah Gerakan 30 S yang menimbulkan banyak pertikaian dan pertumpahan darah di sejumlah daerah.

Anggapan kemunculan komet sebagai penanda bencana itu tetap muncul di era modern. Meski ilmu pengetahuan telah jauh berkembang, sisi-sisi irasional manusia tetap muncul. Meski demikian, imaji atas komet juga makin berkembang seperti yang diyakini para pengikut sekte Pintu Surga.

Benda kecil
Nyatanya, komet hanyalah benda langit biasa, anggota Tata Surya yang berukuran kecil. Kehadiran komet bukanlah hal istimewa karena setiap dekade akan banyak komet yang masuk ke bagian dalam Tata Surya.

Saat mendekati Matahari, benda yang dingin ini akan mulai terbakar sehingga membuatnya terlihat seperti koma atau bulatan bercahaya. Pemanasan permukaan komet itu terkadang diikuti pelepasan sejumlah gas sehingga terlihat seperti ekor yang panjangnya bisa mencapai beberapa juta kilometer.

NASA/ESA/MAX-PLANCK-INSTITUTE FOR SOLAR SYSTEM RESEARCH–Debu dari ekor komet, seperti dari komet Halley, merupakan sumber meteoroid yang memicu hujan meteor Orionid dan Eta Aquariid.

Komet umumnya memiliki orbit yang sangat elips sehingga periodenya atau waktu yang dibutuhkan untuk satu kali mengitari Matahari bervariasi, mulai dari beberapa tahun hingga beberapa ribu tahun. Lokasi mereka beragam, mulai dari Sabuk Kuiper, setelah Planet Neptunus hingga Awan Oort, wilayah di tepi Tata Surya yang berbatasan dengan ruang antarbintang.

Komet yang berasal dari Awan Oort, seperti Hale-Bopp, umumnya masuk ke bagian dalam Tata Surya atau tertarik oleh gravitasi Matahari akibat mengalami gangguan orbit. Gangguan itu bisa disebabkan oleh gerakan bintang lain di dekatnya hingga pengaruh gelombang galaksi.

Meski pengetahuan manusia tentang komet semakin baik, masih sedikit pengetahuan yang dimiliki manusia. Padahal, komet diyakini sebagai pembawa materi organik yang memicu munculnya kehidupan di Bumi saat komet itu menumbuk Bumi jutaan tahun lalu.

Untuk itu, manusia berusaha mendaratkan wahananya di komet. Cita-cita tersebut terwujud saat robot Philae milik Badan Antariksa Eropa (ESA) berhasil mendarat di permukaan komet 67P/Churyumov-Gerasimenko pada 12 November 2014.

AFP/ ESA/ROSETTA/MPS–Citra komet 67P/Churyumov-Gerasimenko yang diambil kamera OSIRIS yang ada di wahana antariksa Rosetta. Citra ini diambil pada 6 Agustus 2014 pada jarak 285 km, sebelum wahana Philae didaratkan.

Namun, proses pendaratan di permukaan komet yang keras tidak berjalan mulus. Terlebih, gaya gravitasi komet juga sangat kecil. Meski demikian, hal itu tetap memberi pelajaran bagi manusia, hingga suatu saat cita-cita untuk mengeksplorasi komet bisa lebih baik dilakukan.–M ZAID WAHYUDI

Sumber: Kompas, 16 November 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB