Penelitian yang melibatkan orang asing wajib mendapatkan izin dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Pelanggaran pada ketentuan yang melibatkan peneliti asing tersebut diberi sanksi mulai dari teguran lisan hingga pembatalan izin penelitian.
”Penelitian yang melibatkan peneliti asing, termasuk di perguruan tinggi yang melibatkan mahasiswa ataupun dosen asing, tetap harus mengurus izin ke Kemristek dan Dikti sebagai salah satu syarat,” kata Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pegembangan, Kemristek dan Dikti, Muhammad Dimyati, Senin (2/4/2018), di Jakarta.
Terkait perizinan penelitian yang melibatkan peneliti asing antara Universitas Syiah Kuala, Aceh, dan Universiti Sains Malaysia soal situs Lamuri, Dimyati mengatakan belum bisa berkomentar. ”Saya belum tahu duduk soalnya. Sampai saat ini belum ada laporan soal ini ke tangan saya,” kata Dimyati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Dimyati, untuk pengurusan izin penelitian asing sebenarnya terus dilakukan penyesuaian. Apalagi tren penelitian asing di Indonesia cukup baik. Berbagai bidang menjadi favorit peneliti asing. Biologi dan ekologi termasuk yang paling diminati. Bidang arkeologi juga salah satu yang masuk dalam 10 top bidang yang diminati peneliti asing di Indonesia.
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN–Kegiatan penelitian arkeologi di sebuah situs.
Dimyati mengatakan, izin penelitian asing ini harus dipenuhi karena ada ketentuan soal lokasi dan tema tertentu yang tidak boleh dilanggar. Terkait lokasi, untuk daerah yang membahayakan keselamatan jiwa peneliti (misal daerah konflik) tidak diizinkan. Terkait bidang, penelitian tidak diizinkan untuk yang bersifat rahasia negara.
Dimyati menambahkan, perizinan penelitian asing melibatkan sekitar 20 instansi. Rapat koordinasi rutin dilakukan dengan menggelar rapat bersama dua minggu sekali, tetapi hal ini dinilai tidak efektif. Koordinasi kemudian dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Mahasiswa asal aceh
Secara terpisah, Ketua Tim Peneliti Situs Lamuri Husaini Ibrahim mengklarifikasi bahwa penelitian gabungan antara Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, dan Universitas Sains Malaysia (USM) tidak melibatkan warga negara asing. Namun, peneliti tersebut adalah mahasiswa asal Aceh yang sedang menempuh pendidikan di Malaysia.
Kepala Humas Unsyiah Husni Triyadi mengatakan, Unsyiah dan USM menjalin hubungan kerja sejak 2017. Kerja sama dilakukan di sejumlah bidang, seperti pertukaran mahasiswa dan penelitian. Namun, secara khusus belum ada nota kerja sama penelitian di situs Lamuri. Terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh dosen Unsyiah bersama mahasiswa USM, pihaknya akan memberikan klarifikasi tertulis jika ada teguran dari Kemristek dan Dikti. ”Jika dianggap keliru, kami siap menerima teguran dan akan membenahinya,” ujar Husni.
Situs Lamuri diduga merupakan bekas Kerajaan Islam sekitar abad ke-15. Lamuri adalah cikal bakal Kerajaan Aceh Darussalam. Menurut Husaini, penelitian situs Lamuri masih minim dilakukan, padahal itu sangat penting bagi pendidikan. (ELN/AIN)–ESTER LINCE NAPITUPULU / ZULKARNAINI
Sumber: Kompas, 3 April 2018