Home / Featured / Kembangkan Varietas Unggul, Dibagikan Gratis

Kembangkan Varietas Unggul, Dibagikan Gratis

Budi Setiadi Daryono, Peneliti Melon dari UGM
Sejak 1997, Budi Setiadi Daryono MAgrSc PhD memutuskan ”berjuang” untuk melon. Sebagai akademisi, perjuangan itu dia wujudkan dalam penelitian. Kini belasan hasil penelitiannya memberi sumbangan penting di bidang biologi dan pertanian. Varietas melon unggulan tahan hama, manis dan tinggi kandungan gizi merupakan buah kerja kerasnya.

MESKI sore itu jarum jam telah menunjukkan pukul 17.00, Budi masih sibuk di kantor. Beberapa mahasiswa masih menunggu di luar ruangan untuk konsultasi karya ilmiah mereka. Padahal secara resmi, kegiatan di Fakultas Biologi UGM sudah berakhir pukul 15.00.

Laki-laki kelahiran Tasikmalaya, 26 Maret 1970 itu sudah biasa bekerja melebihi jam kantor, mengingat selain sebagai dosen dan peneliti, dia juga menjabat Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan.

”Saya sudah biasa. Keluarga juga sudah maklum karena dulu waktu kuliah di Jepang, saya berangkat pukul 08.30 dan pulang pukul 22.30,” katanya.

Saat membuka perbincangan, Budi justru banyak bercerita keprihatinannya terhadap pertanian di Indonesia. ”Apa kalau buah impor itu bagus. Ndak. Kita bisa kok maju, mampu. Kita bukan bangsa tempe. Masalahnya, banyak yang punya kepentingan dengan impor. Kita kalah sama mafia,” ujarnya.

Dia pun mencontohkan melon dari Thailand yang banyak beredar di pasaran saat ini. Buah ini, menurutnya, tidak tahan serangan penyakit jamur tepung. Meski demikian, tetap saja impor. Kritik Budi bukan tanpa alasan. Dia pun membuktikan dengan penelitiannya.

Tahan Lama
Pasalnya, dia telah mengembangkan melon tacapa silver. Selain besar, melon ini tahan penyakit jamur tepung dan kuat disimpan hingga 1,5 bulan di luar lemari pendingin.

Budi juga mengembangkan gadjah mada melon parfum. Melon ini mempunyai aroma harum yang sangat kuat, sehingga bisa dijadikan bahan dasar kosmetik. Hal ini bisa menjadi solusi industri kosmetik yang masih bergantung pada bahan impor.

Padahal melon yang nenek moyangnya berasal dari Turkmenistan ini telah divonis sebagai buah yang tidak bermanfaat.

”Bahkan di Jepang, melon sudah dianggap tidak berguna. Namun saya yakin, Tuhan menciptakan pasti ada manfaatnya. Karena itu, saya kembangkan untuk sifat wewangiannya,” ujar lulusan S-3 Plant Molecular Genetics and Breeding, Tokyo University of Agriculture, Jepang ini.

Bukan hanya itu, Budi juga memiliki pemikiran visioner di bidang melon. Salah satu hasil penelitiannya, yakni melon hikadi membuktikan hal itu. Melon jenis ini kecil dan bisa dipegang dalam genggaman. Jenis hikadi pertama bentuk bulat, rasa manis, dan beraroma wangi. Sementara hikadi granat berbentuk lonjong dan hikadi apel berkulit kemerahan seperti apel bulat.

”Idenya membuat melon yang habis sekali makan dan handy (cukup digenggam). Sekarang telepon, motret, internet, cukup pakai smartphone. Begitu juga dengan cara orang menikmati buah-buahan pada masa mendatang,” tuturnya seraya mengambil beberapa melon hikadi dari lemari es.

Melon ini juga mengandung senyawa betakaroten yang sangat berguna untuk kesehatan mata dan antikanker. Betakaroten merupakan bahan pembuat vitamin Adan antioksidan.

Untuk satu melon, kata Budi, mengandung 706,6 mikrogram senyawa betakaroten.

”80 persen kandungan betakarotennya setara dengan kandungan betakaroten pada wortel. Jadi kalau anak susah makan wortel, kasih melon saja,” ujarnya.

Ke depan, Budi ingin mengembangkan hikadi apel yang kulitnya bisa dimakan seperti apel. ”Kalau yang sekarang, kulit buah masih terlalu tebal,” imbuhnya.

Aktivitas dan konsistensi penelitian Budi membuahkan belasan penghargaan tingkat nasional dan internasional, antara lain, INPEX Foundation Awards- Japan (1999), Young-Scientist Award dari International Society for Horticultural Science (ISHS)- Belgium (2001), Dosen Berprestasi Bidang Pengabdian kepada Masyarakat Berbasis Hasil Penelitian dari Rektor UGM (2012), dan Ilmuwan Kontributif Biologi, MIPA untuk Negeri (MUN), Universitas Indonesia (2013).

Riset Sosial
Sepanjang perjalanannya mengembangkan melon, Budi selalu melakukan riset sosial. Dia berdialog dengan petani dan konsumen buah. Hal itu untuk mengungkap apa saja yang mereka inginkan dari melon. Informasi tersebut sangat penting. Terlebih bagi Budi, menjadi dosen tidak bisa lepas dari dua tuntutan. Pertama, pengembangan ilmu yang bermanfaat bagi dunia akademis. Kedua, aplikasi ilmu yang bermanfaat secara sosial.

”Saya selalu melakukan pengamatan sosial sebelum penelitian. Jadi penelitian itu saya sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat,” imbuhnya.

Bahkan, jauh sebelum memutuskan memilih melon sebagai fokus penelitian, Budi juga mengidentifikasi melon di Indonesia. Setidaknya dia punya tiga alasan. Pertama, melon adalah model tanaman yang regenerasinya cepat. Kedua, di Indonesia belum banyak ahli yang meneliti melon secara ilmiah. Ketiga, ekonomis, karena di antara jenis labu-labuan, melon paling mahal dan harganya stabil.

”Saya mulai bergelut dengan melon ketika harganya Rp 2.500/kg. Sekarang Rp 6.000/- kg. Stabilkan. Coba bandingkan dengan cabai,” ujarnya.

Sebagai akademisi, Budi juga mempunyai tanggung jawab untuk memberikan dan mengaplikasikan ilmunya secara langsung kepada masyarakat. Benih- benih melon unggulan yang dikembangkan itu, diberikan secara gratis kepada banyak petani di DIY, Jateng, bahkan Jatim.

”Kami beri gratis karena ini tanggung jawab UGM juga pada masyarakat. Saya tidak ada pamrih untuk petani, untuk Tanah Air. Namun kalau ada yang menyalahgunakan, memperjualbelikan misalnya, akan saya tuntut,” tandasnya.

Dia mengaku, apa yang dilakukannya selama ini sematamata panggilan nurani sebagai pendidik. Tidak hanya di dalam kampus, tetapi juga untuk masyarakat umum. ”Saya lebih senang jika apa yang saya lakukan bermanfaat dan menginspirasi orang lain,” tuturnya.

Dia juga menegaskan, kedaulatan pangan dimulai dari karakteristik budaya bangsa. Menurutnya, tidak ada artinya jika bangsa Indonesia masih meremehkan produk sendiri.

”Kita harus se-ia sekata ucapan dan perbuatan. Kalau tidak percaya diri, kita akan mengalami ketergantungan, ini penjajahan jangka panjang yang mengerikan,” tandasnya. (Sony Wibisono – 61)

Sumber: Suara Merdeka, 6 November 2014

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d blogger menyukai ini: