Wirausaha bukan sekadar keterampilan, melainkan cara berpikir untuk mencari permasalahan yang ada di lingkungan sekitar. Sejatinya sikap kewirausahaan bisa ditumbuhkembangkan di dalam diri siswa sejak di usia SD.
“Wirausaha berarti memiliki gagasan yang merupakan jalan keluar bagi permasalahan di lingkungan sekitar ataupun masyarakat luas dan bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,” kata Ketua Departemen Pendidikan Kewirausahaan dan Bisnis dari University Teacher College, Austria, Johannes Lindner di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Selasa (3/7/2108). Lindner yang juga pendiri Inisiatif Pendidikan Kewirausahaan di negara asalnya datang untuk memberi kuliah umum tentang kewirausahaan.
Ia mengungkapkan, wirausaha kerap dipandang sempit, yakni sebatas memiliki usaha mandiri di bidang perdagangan barang ataupun jasa. Wirausaha tidak sama dengan usaha mikro, kecil, dan menengah karena di dalam prinsip wirausaha harus ada inovasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Johannes Lindner, Kepala Departemen Pendidikan Kewirausahaan dan Bisnis University Teacher College, Austria.
“Wirausaha ada di semua bidang, tidak hanya ekonomi dan bisnis. Tujuan utama wirausaha ialah memberi nilai tambah di masyarakat, bukan mencari laba ekonomi,” jelas Lindner.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Lindner menjelaskan cara mengembangkan pendidikan kewirausahaan di sekolah kepada para dosen UNJ dalam kelas diskusi tambahan.
Berpegang pada prinsip itu, Lindner menerangkan pentingnya mendidik siswa sedari SD mengenai wirausaha. Pendidikan ini tidak membutuhkan mata pelajaran tersendiri, melainkan tersirat di semua mata pelajaran dan kegiatan di sekolah.
Langkah pertama ialah mengajak siswa mengenal diri sendiri seperti bakat dan minat masing-masing. Kemudian, dengan contoh-contoh sederhana mengajak mereka melihat masalah yang ada di kehidupan sehari-hari.
“Tidak perlu isu yang kompleks karena untuk siswa SD sebaiknya berdasarkan pengalaman pribadi. Misalnya, tantang mereka mencari cara agar tidak memproduksi sampah plastik atau cara menghemat uang jajan sehingga bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang lebih berguna,” tutur Lindner.
Di SD-SD di Austria, papar Lindner, guru memancing rasa ingin tahu siswa dengan menantang mereka mencari cara membuat prakarya. Salah satu contoh ialah praktik memasak kue. Alih-alih memberi resep, guru meminta siswa mencari sendiri resep kue. Mereka bisa mencari di internet, bertanya kepada orangtua, ataupun membaca buku resep masakan.
“Dalam proses tersebut, siswa belajar melakukan penelitian dan mencari jalan keluar untuk membuat kue. Mereka dibebaskan berpendapat jika kue tersebut membutuhkan bahan-bahan tambahan agar lebih enak,” ujar Lindner.
Ketika siswa mempraktikkan membuat kue, mereka tidak dituntut menghasilkan kue yang enak. Justru, mereka saling belajar untuk mengenal letak kesalahan dalam proses pembuatan kue beserta cara memperbaikinya.
Pendidikan demokratis
Lindner menjabarkan, agar bisa menciptakan iklim kewirausahaan di sekolah dan di rumah, butuh pendidikan yang demokratis. Dalam hal ini, orangtua harus bisa lepas dari mental terlalu menyayangi anak sehingga tidak mau membiarkan anak repot. Tantangan-tantangan kecil sangat bermanfaat mengasah keterampilan sosial, kognitif, motorik, dan emosional anak.
Bagi guru, hal pertama yang harus dilakukan adalah menciptakan pola komunikasi yang tidak feodal. Guru harus mau mendengar ide-ide siswa, terlepas usia siswa yang masih sangat muda.
“Guru menilai secara obyektif ide tersebut dan memantau siswa menerapkannya menjadi kenyataan sambil memberi bimbingan apabila diperlukan,” ujar Lindner.
Wakil Rektor UNJ Bidang Perencanaan dan Kerjasama Achmad Ridwan mengungkapkan, menciptakan pola pikir demokratis pada calon-calon guru merupakan tantangan. Budaya timur umumnya masih sangat mengutamakan hierarki berdasarkan umur.
“Mahasiswa harus dipancing agar aktif berdiskusi dan mengutarakan pendapat. Jika mereka bisa menghargai pendapat lawan bicara, mereka berada dalam pola pikir demokratis. Memang butuh waktu untuk mengembangkan perilaku ini,” katanya.–LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 4 Juli 2018