Kebakaran hutan dan lahan telah mengakibatkan 12 jiwa melayang. Kebakaran juga meluas hingga sekitar 1,7 juta hektar kawasan hutan, terutama lahan gambut. Selain itu, asapnya mencapai wilayah udara negara-negara tetangga. Kekayaan hayati terancam akibat hancurnya ekosistem hutan.
Akhir pekan lalu Kompas mewawancarai Emil Salim seputar masalah kebakaran hutan. Emil berpengalaman memegang berbagai jabatan sejak tahun 1970-an. Selama 10 tahun, 1983-1993, Emil menjabat menteri untuk urusan lingkungan hidup dan duduk di Dewan Pertimbangan Presiden hingga 2014. Berikut petikan wawancaranya.
Sepanjang pengalaman Anda, bagaimana menurut Anda kebakaran hutan yang terjadi saat ini? Kita pernah mengalami kebakaran hutan besar tahun 1997..
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kebakaran dulu belum sebesar sekarang. Biasanya kebakaran hutan tidak terlalu besar. Munculnya sporadis menjelang musim tanam, dikaitkan dengan pertanian, ladang berpindah. Tidak masif seperti sekarang. Pemadamannya bukan oleh pemerintah tingkat nasional, melainkan pemerintah daerah.
Lalu ada perubahan tahun 1997 ke tahun 2000. Tahun 2000 harga kelapa sawit melonjak. Tahun 2001 dan 2002, dari pandangan komersial, komoditas itu sangat menarik. Demand dari Tiongkok meningkat. Kelapa sawit tumbuh paling baik di daerah dekat khatulistiwa. Nah, itu adalah daerah-daerah Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Jambi. Daerah khatulistiwa iklimnya cocok: kehangatannya, curah hujan, air amat cocok untuk kelapa sawit.
Emil Salim–KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Jadi, ada tiga hal yang mendorong: pertama, harga kelapa sawit meningkat pesat; kedua, lokasi tersedia; dan ketiga, tahun 2000 setelah pergantian Pak Harto (Presiden Soeharto) muncul kebijakan desentralisasi. Wewenang kabupaten besar untuk memberikan izin. Yang fatal, dalam peraturan ada pasal berbunyi, “satu KK bisa membuka 2 hektar secara tradisional dengan membakar”. Maksudnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Daripada ladang, kalau 100 KK jadi 200 hektar bisa untuk kelapa sawit, ekonomi naik. Jadi, pengusaha mendapat 200 hektar dengan murah, membakar pun lebih murah daripada dengan teknologi sophisticated. Pengusaha untung, pemda untung karena pendapatan asli daerah (PAD) naik. Negara juga untung karena nilai ekspor naik. Semua senang, bertepuk tangan. Ini terjadi karena ketidaktahuan akan karakter gambut. Jadi, ini suatu hal yang tidak bisa diramalkan. Baru setelah tahun 2008, 2009 orang tahu ada soal.
Saya berdebat dengan Gubernur Riau. Dia mengatakan, kalau diikuti, mereka tidak bisa membangun, PAD tidak ada. Saya bilang, boleh membangun, tetapi jangan berisiko lingkungan rusak. Sekarang, kan, dahsyat. Semua hancur, PAD habis, dan rakyat.. Why… sekarang luar biasa? Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika sudah meramalkan, kekeringan akan meledak tahun ini. El Nino luar biasa. Lagi-lagi informasi ini tidak disadari. Tidak tahu bahwa air mutlak dibutuhkan. Akhirnya business as usual seperti tahun lalu, dua tahun lalu, sekat-sekat penahan air dibuka untuk tanam.
Gambut tidak boleh dieksploitasi?
Dalam perencanaan tata ruang untuk kelapa sawit di gambut dan lainnya harus didahului dengan land used plan (perencanaan penggunaan lahan), resource used plan (perencanaan sumber daya alam). Jangan hanya melihat sumber daya alam sebagai alat ekonomi, faktor produksi. Apa arti pembangunan berkelanjutan? Kita mengolah resource, tapi daya dukung alam tidak dilewati. Daya dukung tanah gambut maksimal airnya 40 sentimeter dari permukaan. Kalau tidak, dia jadi kering, berisiko kebakaran. Celakanya orang bikin kanal, air turun hingga lebih dari 40 sentimeter. Sekarang kita jadi korban. Jika diperhatikan, kebun bisa tumbuh tanpa kebakaran.
Seharusnya perusahaan bertanggung jawab mencegah kebakaran di lahannya?
Dulu ada Masyarakat Peduli Api, yaitu masyarakat di sekitar perkebunan yang akan membantu perusahaan kalau ada kebakaran. Di kelurahan juga ada. Ke mana mereka semua? Perkebunan juga ada menara tinggi untuk deteksi api. Juga ada pesawat capung yang terhubung sistem pemantau api.
Wilayah yang bisa dibangun dibatasi?
Kementerian Agraria dan Tata Ruang wajib membuat spatial plan untuk daerah yang mutlak dilindungi, tidak bisa dieksploitasi. Itu harus dipetakan, dengan back up dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan didukung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Tiga ini harus maju ke depan. Perlu rencana penggunaan lahan sampai tahun 2045. Di situ peranan agraria dan tata ruang.
Bagaimana pemerintah harus membangun di masa depan?
Dulu pernah seorang Dirjen Tata Ruang PU membikin laporan tentang daya dukung lingkungan. Itu tahun 2010, dia membuat studi tentang ecological footprint, ada perhitungannya. Dengan indikator itu kita bisa membuat rencana pengelolaan sumber daya alam agar tidak melewati ambang batas. Dulu dibuat Tata Ruang Nasional dan Detail Tata Ruang Provinsi. Hambatannya adalah peta karena masih beda-beda. Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan ambil prakarsa membuat one map, tetapi itu belum disahkan sebagai acuan untuk semua departemen. Setelah ada peta, kita harus membuat rencana detail tata ruang, jadi ada pre-determined (penetapan sebelumnya) peta-peta pulau-pulau dan area-area yang mesti diselamatkan, jadi patokan untuk pembangunan infrastruktur. Ke depan, Ferry (Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursydan Baldan), berkewajiban mengidentifikasi daerah mana yang mutlak harus dipisahkan dari pembangunan, dihindarkan dari eksploitasi hal-hal yang melewati daya dukung lingkungan ini, mutlak tak bisa dieksploitasi. Misalnya, gambut musuhnya kebun, bakau musuhnya tambak udang, karst musuhnya semen, pasir musuhnya pasir besi. Kejadian sekarang jadi pelajaran, jangan diulangi. Ini tidak pernah terjadi di negara lain.
Lantas, bagaimana norma pembangunan selanjutnya?
Di dunia ekonomi, harga pasar tidak menampung surutnya nilai sumber daya alam, kerusakan lingkungan, juga dampak seperti penyakit, ancaman terhadap nyawa manusia, itu tidak tertampung pada harga pasar, terjadi market failure (kegagalan pasar). Ini bisa diatasi kalau pemerintah turun tangan.
Mengapa seperti ini terus terjadi? Karena ada power of money (kekuatan uang). Kedua, masyarakat permisif, menerima ini sebagai kehendak Tuhan, pasrah. Ketiga, pemerintah lemah, terutama di daerah. Mengubah arah pembangunan tetap di jalur lingkungan itu perjuangan yang amat berat. Saya hanya katakan ini once for all time. Ini harus jadi pelajaran. Jangan sampai terjadi lagi. Ini pelajaran yang pahit sekali.
(BRIGITTA ISWORO L)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Oktober 2015, di halaman 21 dengan judul “Ini Pelajaran yang Pahit Sekali”.