Peneliti senior ilmu hayati di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof (riset) Endang Sukara, menjadi perwakilan kawasan Asia Pasifik untuk kelompok pakar pada Konvensi Keanekaragaman Hayati. Hal itu bisa dimanfaatkan untuk memasukkan isu-isu strategis perlindungan dan pengelolaan biodiversitas Indonesia yang sangat kaya.
”Sebelum ini kita hanya sebagai delegasi. Kini dengan Indonesia masuk SBSTTA (Subsidiary Body on Scientific, Technical, and Technological Advice), kita bisa punya jalur cepat menginformasikan berbagai permasalahan keanekaragaman hayati di Indonesia atau Asia Pasifik,” kata Arief Yuwono, Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kamis (10/7), di Jakarta.
SBSTTA merupakan wadah para pakar lintas negara yang diamanatkan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Tugas badan ini memberikan masukan serta mengarahkan perkembangan dan isu mencapai konvensi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara Pertemuan Para Pihak CBD XII tahun ini akan berlangsung di Pyongyang, Korea Utara, Oktober-November 2014. Di sana akan berlangsung pertemuan para pihak Protokol Cartagena, Konferensi Keanekaragaman Hayati, dan pertemuan Protokol Nagoya.
Menurut Arief, dunia internasional mengenal biodiversitas Indonesia yang sangat tinggi. Namun, potensi itu juga memiliki keterancaman tinggi sebagai dampak perubahan iklim, serangan spesies asing invasif, biopiracy, deforestasi, serta kebakaran hutan dan lahan.
”Otak CBD itu di SBSTTA. Para pakar dari banyak negara akan membahas apa saja yang akan dibahas di COP,” papar dia.
Dihubungi kemarin, Endang Sukara mengatakan, Indonesia menghadapi tantangan pengelolaan keanekaragaman hayati yang pelik. ”Di sisi lain, kita meratifikasi Protokol Nagoya. Kita tak bisa mengelak meski minim dalam kesiapan,” kata dia.
Kondisi belum siap, kata dia, salah satunya ditunjukkan belum masuknya biodiversitas dalam rencana pembangunan ekonomi di Indonesia. Padahal, berbagai jenis biodiversitas yang tampaknya tak berharga akan sangat bernilai ketika penelitian memunculkan manfaat produk.
Endang Sukara mencontohkan umbi dahlia yang diketahui bermanfaat bagi pengobatan. Itu karena kandungan inulin berserat tinggi dan tersusun atas polimer fruktosa. Zat itu tak dapat dicerna enzim pencernaan, tetapi dapat difermentasi mikroflora usus besar.
Dengan kata lain, inulin berfungsi sebagai prebiotik mengatasi osteoporosis. Potensi itu dilirik Universitas Hokkaido, Jepang, yang mendaftarkan paten dan membagi keuntungan royalti 50 persen bagi Indonesia. (ICH)
Sumber: Kompas, 11 Juli 2014