Tekanan lingkungan pada ekosistem terumbu karang kian berat. Mulai dari kekurangan oksigen, penipisan rangka, pemutihan, hingga penyakit akibat sampah plastik.
Hewan karang yang diperkirakan hidup sejak zaman purba kondisinya kian memprihatinkan. Mulai dari perubahan iklim akibat ulah manusia yang membawa penghangatan global hingga ketidakberadaban manusia yang tak bisa mengelola sampah ”modern”-nya semakin menekan kehidupan ekosistem karang.
Sebulan terakhir, bermunculan berbagai riset yang membawa kepada kesimpulan tersebut. Perubahan iklim akibat kerakusan manusia membakar sumber energi fosil membuat laut kian kekurangan oksigen, meningkatkan suhu, dan meningkatkan keasaman. Karang yang berasosiasi dengan zooxanthellae (alga bersel satu) menjadi stres, memutih, dan kerangkanya kian rapuh. Perubahan iklim pula yang mempersempit waktu dan
kesempatan karang untuk memulihkan diri dari pemutihan itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dan, riset yang relatif baru membuktikan keberadaan sampah laut berkorelasi terhadap kerentanan karang akan penyakit. Di perairan Indonesia, mulai dari sungai hingga muara dan pantai serta laut pun tak terkecuali tercemar sampah.
Jurnal Science, 26 Januari 2018, menerbitkan laporan Plastic Waste Associated with Disease on Coral Reefs. Dalam artikel ilmiah itu, Joleah B Lamb (Department of Ecology and Evolutionary Biology, Cornell University, Amerika Serikat) beserta 10 peneliti lain menyurvei 159 lokasi terumbu karang di Indonesia (Sulawesi Selatan, Bali, Papua Barat), Myanmar, Thailand, dan Australia. Pengamatan pada 124.000 karang di kedua benua ini menunjukkan risiko terinfeksi penyakit saat bersentuhan dengan sampah plastik pada kisaran 4-89 persen.
Disebutkan dalam laporan itu, jumlah sampah plastik di laut Indonesia menempati posisi tertinggi, yaitu 25,6 buah per 100 meter2 (lebih kurang 12 meter2). Terendah di perairan Australia, ditemukan 0,4 buah sampah per 100 meter2 (lebih kurang 0,3 meter2).
Sebagai perbandingan, pengalaman Divers Clean Action, komunitas anak muda penyelam yang fokus di isu sampah bahari di Indonesia, menjumpai hal serupa. Mereka mengangkat sedikitnya 16 kilogram sampah saat mengitari 100 meter dasar perairan laut dan 18 kg sampah pada 100 meter pantai di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 2016 (Kompas, 23 April 2017).
Februari 2015, studi Jenna R Jambeck dari Universitas Georgia menempatkan Indonesia sebagai penghasil sampah terbesar kedua setelah China. Komposisi terbesar tentu saja didominasi berbagai bentuk sampah plastik yang sulit terurai di laut yang gelap dan dingin.
Temuan ini mengerucutkan studi yang dilakukan Program Lingkungan PBB (UNEP) dan para mitra pada 2014 yang memperkirakan, dari 280 juta ton plastik diproduksi secara global tiap tahun, sebagian menjadi sampah di laut.
Namun, dampak sampah plastik bagi kehidupan ekosistem terumbu karang baru dibuka Joleah B Lamb dan kawan-kawan. Penelitian sebelumnya melihat dampak plastik pada lautan dari sisi fragmentasi plastik menjadi mikroplastik (kurang dari 5 mm) antara lain riset bersama Universitas Hasanuddin Makassar dan University of California Davis (2014 dan 2015), ditemukan potongan kecil sampah plastik di saluran pencernaan ikan dan kerang di Makassar dan California, AS (Kompas, 7 April 2017).
Reaksi kimia plastik dalam tubuh makhluk hidup membuat organisme rentan mengalami berbagai penyakit dan kelainan. Namun, dampaknya pada karang baru jelas tergambar dalam penelitian terbaru itu.
Menyebabkan luka
Dalam hipotesis yang pernah mengemuka, di antaranya sampah plastik menghalangi sinar matahari. Zooxanthellae, alga yang bersimbiosis dengan karang, membutuhkan sinar matahari untuk berfotosintesis.
Sinar matahari yang terhalang itu menciptakan lingkungan mikro yang menyebabkan kondisi tanpa oksigen. Kondisi ini membentuk formasi banyak mikroba yang menjadi penyebab penyakit black band, penyakit menular pada karang yang ditandai dengan bercak hitam seluas 0,6-5 sentimeter persegi pada permukaan tubuhnya.
Plastik yang bersifat sulit terurai—apalagi berada di kedalaman laut yang relatif dingin—keberadaannya memberi dampak yang sangat lama pada karang. Meski dalam laporan itu disebutkan mekanisme penyakit karang dan plastik masih harus ditelusuri lebih lanjut, laporan ini telah menunjukkan korelasi langsungnya. Misalnya, sampah plastik menyebabkan luka fisik dan goresan pada jaringan karang sehingga memfasilitasi invasi mikroba patogen. Penyakit itu juga bisa disebabkan serangan pada sistem kekebalan tubuh saat proses penyembuhan luka.
Percobaan yang pernah dilakukan dalam riset lain menunjukkan luka pada karang diikuti penempelan protozoa Halofolliculina corallasia, agen penyebab penyakit pengikisan skeleton (kerangka) karang. Kerangka karang pun menjadi rapuh.
”Penelitian ini secara jelas menunjukkan sampah plastik berkontribusi besar dalam kemunculan penyakit meski kita masih belum paham 100 persen mekanismenya,” ujar Jamaluddin Jompa, Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, satu dari 11 penulis laporan ini yang juga Ketua Center for Marine Resilience & Sustainable Development atau Marsave, saat dihubungi beberapa waktu lalu berada di Australia.
Semakin beratnya tekanan hidup pada terumbu karang ini seharusnya bisa dikurangi apabila sampah dikelola dengan baik. Komitmen Presiden yang disampaikan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan saat menghadiri Konferensi Laut di New York, AS, Juni 2017, ditunggu realisasinya.
Saat itu, Indonesia menegaskan lagi janjinya akan pengurangan 75 persen sampahnya pada 2025. Sebuah komitmen ambisius mengingat Indonesia masih kedodoran mengelola sampah meski selama 10 tahun memiliki UU Sampah dan 13 tahun memperingati 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.
Di sisi lain, janji itu perlu segera direalisasikan—bahkan lebih ambisius lagi—apabila Indonesia tak ingin kehilangan masa depan pangan, medis, dan pariwisata di laut. Kehidupan lebih dari 140 juta warga pesisir dipertaruhkan.(ICHWAN SUSANTO)
Sumber: Kompas, 3 Februari 2018