Pada saat para ilmuwan sedang bingung mencari hukum yang berkaitan dengan teori evolusi Darwin, penemuan Mendel yang sebenarnya cocok dengan itu, terpendam dan diremehkan selama 34 tahun.
SEJUMLAH cendekiawan telah menerima teori evolusi yang dikemukakan oleh Darwin, meskipun mereka masih belum memahami bagaimana spesies itu berubah akibat dari perubahan lingkungan hidup. Salah satu model yang dapat membantu pemahaman itu datang dari seorang biarawan bernama Gregor Johann Mendel. Melalui penelitian mengenai penyerbukan tanaman, biarawan itu menemukan suatu aturan di dalam ciri keturunan. Aturan itu kemudian dikenal sebagai hukum keturunan.
Bila kita bandingkan riwayat hidup Mendel dengan Darwin dan Wallace, kita akan menemukan persamaan dan perbedaan di dalam hidup dan karir mereka. Kesamaan mereka terletak pada masa kecil mereka yang sama-sama tidak tergolong siswa cerdas, bahkan ada di antara mereka yang tidak sempat memperoleh pendidikan yang tinggi. Mereka juga sama-sama mempunyai kegemaran akan alam baik tetumbuhan maupun hewan. Perbedaan mereka terletak pada cara mengenyam ketenaran. Teori Darwin dan Wallace dikenal luas pada saat mereka masih hidup, sedang hukum Mendel baru dikenal luas lama setelah Mendel meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Biarawan yang suka tetumbuhan
JOHAN Mendel lahir di Heinzendorf, dekat Odrau, Silesia (kini menjadi Hyncice, dekat Ordy, Cekoslowakia) sebagai anak petani yang miskin. Ketika masih kecil, ia bekerja keras merawat pohon buah-buahan dan bersekolah di Gymnasium biara St Thomas di Brunn. Seperti banyak orang pada zamannya, Mendel berkeinginan untuk menjadi biarawan. Saat ia masuk menjadi biarawan dalam ordo Augustinus, ia memperoleh nama tambahan yakni Gregor sehingga menj adi Gregor Johann Mendel. Pada tahun 1847, ia ditahbiskan menjadi pendeta, dan kemudian menetap di biara St Thomas itu.
Karena biara ordo Augustinus berkewajiban menyediakan guru untuk sekolah menengah setempat, maka pada tahun 1851, Mendel dikirim ke Universitas Wina untuk dilatih sebagai guru matematika dan ilmu alam. Tiga kali Mendel gagal dalam ujian untuk menjadi guru di sekolah yang lebih tinggi. Akhirnya, ia mengakhiri latihan guru itu pada tahun 1853. Pada tahun 1854, ia diangkat menjadi guru ilmu alam dan fisika di Brunn Realschule. Di situ, ia mengajar selama 14 tahun.
Selain tertarik kepada matematika, Mendel pun meneruskan minatnya terhadap tetumbuhan. Gabungan antara minat terhadap matematika dan minat terhadap tetumbuhan membawanya ke penelitian tetumbuhan yang bersifat kuantitatif antara lain mengenai pembiakan tanaman terutama buncis dan kacang polong. Selama delapan tahun sejak tahun 1856, ia menanam kacang polong di kebun biara dan melakukan pengamatan dengan teliti.
Dalam percobaan itu, Mendel melakukan penyerbukan tanaman menurut suatu rencana tertentu. Untuk mencegah penyerbukan alami —oleh serangga misalnya, ia membungkus tanaman itu agar pasti, penyerbukan hanya terjadi menurut rencana. Hasil percobaan itu dicatatnya dengan rapi. Ciri kacang polong yang tampak di dalam percobaannya itu dihitungnya satu demi satu. Jumlah mereka dibandingkannya menurut kelompok. Setelah penyerbukan itu berlangsung beberapa generasi, Mendel pun menemukan apa yang dicarinya yaitu suatu aturan tertentu di dalam keturunan kacang polong yang telah mengalami penyerbukan silang.
Dengan teliti, Mendel menulis tentang hasil penemuannya itu untuk dibacakan di depan kumpulan ilmuwan alam setempat (di Brunn). Namun tulisannya itu tidak memperoleh tanggapan. Mendel mengirim tulisannya itu kepada ahli tumbuhan yang bernama Nageli. Nageli tidak tertarik pada matematika. Melihat berbagai perhitungan di dalam tulisan itu, Nageli langsung mengembalikan tulisan itu sambil memberi komentar yang tidak menyenangkan. Meskipun komentar itu meluruhkan semangatnya, Mendel belum juga putus asa. Ia lalu menulis sejumlah surat kepada Nageli, namun tak pernah dijawab.
Sebagai usaha terakhir, Mendel mempublikasikan penemuannya itu di dalam terbitan Perkumpulan Sejarah Ilmu Alam Brunn. Dua tulisannya yang penting berjudul “Eksperimen Dengan Hibrida Tanaman” yang terbit tahun 1866 dan “Tentang Hibrida Hieracium Tertentu yang Diperoleh Melalui Fertilisasi Buatan” yang terbit pada tahun 1869.
Karena tidak memperoleh tanggapan dari para pembaca, Mendel putus asa dan berhenti meneliti. Apalagi pada saat itu, berat badannya meningkat sehingga sulit baginya untuk membungkuk. Kesulitan itu membuat sempurna mogoknya Mendel meneliti secara total. Hanya tulisannya yang menjadi saksi bahwa ia pernah bersungguh-sungguh melakukan penelitian secara seksama. Dan dari penelitian itu, ia menemukan suatu hukum tentang keturunan dari tetumbuhan percobaannya.
Pada tahun 1868, Mendel ditunjuk menjadi kepala biara. Sebagai ganti penelitian di bidang tumbuhan, Mendel tertarik kepada ilmu cuaca (meteorologi). Secara seksama Mendel mencatat iklim harian. Sementara itu, penemuan besarnya di bidang keturunan terus terpendam di dalam majalah perkumpulan dan mungkin saja telah dilupakan orang.
Pada tahun 1884, Mendel meninggal dalam kesepian dan kesedihan. Ia tidak pernah menduga bahwa penemuannya itu merupakan penemuan besar dalam ilmu alam. Pada tahun 1891, Nageli juga meninggal. Ia tidak pernah mengira telah melakukan kesalahan besar ketika meremehkan penemuan Mendel sehingga hasil penemuan itu menjaai terpendam.
Percobaan Mendel
MENDEL menanam kacang polong kate dan dari penyerbukan-diri (self-pollination), ia memperoleh kacang polong kate —pendek— lagi. Demikian pula, ia menanam kacang polong jangkung dan dari penyerbukan-diri, ia menemukan kacang polong jangkung. Hasil tanaman ini terdiri atas keturunan murni yakni keturunan murni kacang polong kate dan keturunan murni kacang polong jangkung.
Mendel melakukan penyerbukan silang antara kacang polong kate dan kacang polong jangkung. Ternyata diperoleh tanaman hasil berupa seperempat kacang polong kate dan tiga perempat kacang polong jangkung. Kalau kacang polong kate yang seperempat bagian itu diserbuk-diri, hasilnya tetap kacang polong kate. Kacang polong kate ternyata merupakan keturunan murni. Sedang bila dilakukan serbuk-diri pada kacang polong jangkung yang tiga perempat bagian itu, diperoleh dua macam keturunan yaitu seperempat bagian merupakan keturunan murni yakni terus menerus menghasilkan kacang polong jangkung dan dua perempat merupakan keturunan tak murni.
Apa yang dimaksud dengan keturunan tak murni itu? Kalau kacang polong keturunan tak murni itu diserbuk-diri, maka hasilnya terbagi menjadi seperempat kacang polong kate berketurunan murni, seperempat kacang polong jangkung berketurunan murni, serta dua perempat kacang polong jangkung yang berketurunan tak murni.
Peristiwa ini terjadi berulang-ulang pada keturunan selanjutnya. Ada keturunan murni dari kedua jenis kacang polong itu serta ada keturunan tak murni. Jumlah mereka menggambarkan suatu proporsi yang tetap. Jumlah kacang polong jangkung berketurunan murni banding kacang polong jangkung berketurunan tak murni banding kacang polong kate berketurunan murni adalah 1:2:1. Mendel menamakan perbandingan tetap ini sebagai konstanta.
Kacang polong berketurunan tak murni selalu berupa kacang polong jangkung. Sehingga, ciri jangkung dalam keturunan tak murni itu disebut ciri dominan, sedang ciri kate sebagai ciri resesif. Ketika Mendel mencoba lagi penyerbukan silang itu dengan ciri lain, ia menemukan hasil serupa. Mendel menemukan lagi konstanta bentuk itu. Ciri kacang polong yang diamati adalah jangkung-kate, biji halus-biji berkeriput, kelopak melebar-kelopak menyempit, warna kulit biji yang berbeda, dan seterusnya.
Karena kacang polong jangkung dominan terhadap kacang polong kate, maka perbandingan bentuk tanaman hasil serbuk silang menjadi seperempat banding tiga perempat atau 1 : 3. Dan ini dikenal sebagai Hukum Mendel Pertama.
Perbandingan demikian dapat kita teruskan pada lebih dari sepasang ciri. Pada dua pasang ciri, hasil serbuk silang itu menghasilkan perbandingan 9 : 3 : 3 : 1. Kalau tiga pasang ciri yang dilibatkan, maka perbandingan itu menjadi rumit yakni 27 : 9 : 9 : 9 : 3 : 3 : 3 : 1. Setiap pasang ciri menghasilkan keturunanan secara terpisah menurut konstanta 1 : 3. Dan hasil akhir adalah kombinasi dari hasil masing-masing. Aturan ini dikenal sebagai Hukum Mendel Kedua.
Berhasil dengan kacang polong, Mendel ingin melakukan percobaan pada tanaman lain. Rupanya, percobaan dengan hawkseed tidak memberikan hasil yang diharapkan. Pada waktu itu, para ilmuwan belum mengetahui hakekat gen beserta DNA yang ada di dalamnya, sehingga percobaan ini tetap menjadi percobaan buntu yang tidak dapat dijelaskan. Barangkali ini pun merupakan salah satu alasan mengapa Mendel kemudian menghentikan percobaannya.
Dalam majalah di Brunn, pada karyanya yang berjudul Percobaan Dalam Hibridisasi Tanaman, Mendel menulis bahwa “Keteraturan mencolok yang menunjukkan bahwa hibrida yang sama selalu muncul lagi manakala penyerbukan berlangsung di antara spesies yang sama, menyebabkan perlunya dilakukan percobaan lebih lanjut ….”
Dalam makalah itu, Mendel mengemukakan pula ber-bagai percobaan yang turut dilakukan orang lain. Tetapi mereka belum menentukan jumlah atau statistika dari hasil serbuk silang itu. “Betul-betul memerlukan keberanian untuk melakukan pekerjaan yang demikian luas” tulis Mendel, “namun, tampaknya, ini adalah satu-satunya jalan di mana kita akhirnya dapat mencapai pemecahan masalah,
Mendel juga mengemukakan beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pemilihan tanaman dan pelaksanaan percobaan. Tanaman dari genus Pisum memenuhi kualififikasi untuk percobaan serbuk silang ini. Bahkan tidak tanggung-tanggung Mendel berkata. “Kesemuanya, kurang lebih tiga puluh empat varietas kacang polong telah diperoleh dari beberapa petani bibit dan digunakan dalam percobaan selama dua tahun ….”
Sesuai tujuannya, makalah itu kemudian memaparkan hasil percobaan dengan berbagai ciri kacang polong. Mendel memaparkan hasil temuannya dalam bentuk generasi pertama dan generasi kedua beserta uraiannya tentang ciri dominan dan ciri resesif. Pada akhir tulisan, Mendel berkesimpulan, “Melalui percobaan, teori ini telah dikonfirmasi: hibrida kacang polong membentuk sel telur dan pollen, yang dalam susunannya, menunjukkan jumlah yang sama dari semua bentuk konstanta hasil kombinasi semua ciri yang bergabung di dalam penyerbukan.”
Bentuk konstanta hasil serbuk silang pada setiap pasang ciri adalah 1 : 3. Gabungan banyak pasang ciri menghasilkan kombinasi konstanta. Rupanya, perhitungan semacam inilah yang membuat Nageli tidak mampu mencerna tulisan Mendel.
Penemuan Kembali Karya Mendel
KARYA Mendel lama terpendam di dalam sejarah. Untung, Mendel menuangkan hasil percobaannya itu ke dalam makalah yang diterbitkan dalam majalah di Brunn. Sekali waktu, tulisan itu masih mungkin terbaca oleh ilmuwan lain.
Itulah yang sesungguhnya terjadi. Pada tahun 1900, 34 tahun setelah tulisan itu dipublikasikan, atau 16 tahun setelah Mendel meninggal dunia, tulisan itu ditemukan kembali oleh tiga ahli tetumbuhan yakni Hugo De Vries dari Belanda, Karl Erich Correns dari Jerman, dan Erich Tschermak dari Austria secara terpisah.
Penemuan kembali itu menyebabkan hasil percobaan Mendel diperhatikan para ahli di seluruh dunia. Bahkan mereka menamakan penemuan Mendel itu sebagai Hukum Mendel dan menjadi salah satu dasar utama di dalam studi keturunan. Penemuan itu penting, karena sejak teori evolusi Darwin diterima para ilmuwan, mereka bersusah payah mencari hukum keturunan yang mampu menjelaskan keragaman dalam keturunan itu. Dan Mendel telah menjawab masalah ini.
“Mengapa para ahli biologi seluruh dunia sekarang sepaham dengan penemuan Mendel …?” tanya pemenang hadiah Nobel, Thomas Hunt Morgan. “Mendel menunjukkan melalui bukti percobaan, Dahwa keturunan dapat dijelaskan dengan mekanisme sederhana,” kata Morgan menjawab pertanyaannya sendiri. “Penemuannya sangat berhasil dan diperlukan untuk pengembangan teori evolusi.
Memang menyedihkan. Pada saat para ilmuwan sedang mencari hukum sederhana untuk dikaitkan dengan teori evolusi Darwin, Mendel menjajakan penemuannya yang sebenarnya cocok dengan apa yang dicari itu. Namun, penemuan Mendel itu terpendam di kota kecil dan diremehkan oleh ilmuwan seperti Nageli. Akibatnya, perkembangan ilmu harus tertunda selama 34 tahun. Dan yang lebih menyedihkan lagi, penemu hukum itu sendiri tidak sempat mengenyam ketenaran yang memang menjadi haknya.
Sejak itu, para ilmuwan melakukan banyak percobaan di bidang keturunan. Mereka melahirkan berbagai teori dan hukum. Seratus tahun setelah penemuan Mendel ditulis di dalam majalah, pengetahuan di bidang keturunan itu berkembang demikian pesatnya sehingga manusia telah mampu mengutak-atik gen di dalam bioteknologi dan mempengaruhi keturunan secara buatan.
Oleh. Dali S. Naga
Sumber: Majalah AKU TAHU/AGUSTUS 1989