Gunung Rokatenda di Pulau Palue, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (10/8), kembali erupsi. Selain menyemburkan abu vulkanik ke angkasa setinggi 1.500 meter-2.000 meter, erupsi juga disertai awan panas guguran yang mengalir ke Lembah Ojaubi di barat laut pulau. Enam orang tewas terkena awan panas dan ratusan orang lainnya diungsikan.
Sejak berstatus Siaga (level III) pada 13 Oktober 2012, Gunung Rokatenda sudah erupsi puluhan kali. Status Siaga sepuluh bulan itu membuat banyak pihak kurang awas. Akibatnya, meski Lembah Ojaubi termasuk daerah terlarang, ada saja warga beraktivitas di sana.
Selama masa Siaga itu, status Rokatenda tak pernah berubah. ”Statusnya tidak dinaikkan menjadi Awas (level IV) karena ada bagian pulau yang aman dari dampak erupsi,” kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Surono, Rabu (14/8). Mulai Kamis kemarin, Surono dilantik menjadi Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika status Rokatenda menjadi Awas, pulau dengan diameter 4 kilometer di tengah Laut Flores itu harus dikosongkan seluruhnya. Hingga kini PVMBG sudah merekomendasikan pengosongan sembilan dusun dari empat desa. Total ada delapan desa di Palue.
Daerah yang harus dikosongkan adalah daerah yang berjarak 3 kilometer dari puncak gunung dan di alur lembah. Daerah dalam radius 3 kilometer dari puncak rentan terkena lontaran material pijar dan hujan abu lebat. Sementara di alur lembah yang berhulu di puncak gunung berisiko tersapu awan panas. ”Praktis hanya sedikit daerah di Palue bisa dihuni,” ujar Surono.
Karakter gunung
Gunung Rokatenda memiliki tinggi 875 meter di atas permukaan air laut. Namun, kaki gunung ini ada di dasar laut sehingga ketinggian totalnya sekitar 3.000 meter. Jadi, Pulau Palue sebenarnya adalah puncak Gunung Api Rokatenda.
Menurut Surono, Rokatenda terbentuk beberapa ratus tahun silam. Sebagai gunung api muda, agar cepat besar dan tinggi, harus sering erupsi.
Catatan erupsi Rokatenda baru ada sejak letusan 1928. Selang waktu antar-erupsi tidak menentu, mulai dari satu tahun (erupsi 1984 dan 1985) hingga 35 tahun (erupsi 1928 dan 1963). Itu menunjukkan erupsi sebelumnya tidak dapat dijadikan patokan untuk memprediksi erupsi berikutnya.
”Karena itu, tanda erupsi gunung api harus dipantau terus, tidak bisa dihafal,” tegasnya.
Rokatenda memiliki dua kawah dan tiga kubah lava. Kubah itu terbentuk dari erupsi tahun 1928, 1964, dan 1981.
Magma Rokatenda mengandung silika lebih dari 60 persen. Tingginya kekentalan magma membuat pembentukan kubah baru butuh tekanan gas sangat besar dari dalam Bumi. Ini membuat erupsi Rokatenda umumnya bersifat eksplosif.
Ketika kubah lava yang sudah terbentuk gugur, gas yang dilepaskan akan jadi awan panas guguran. ”Ini berbeda dengan awan panas Gunung Merapi (di perbatasan Jateng-DI Yogyakarta) yang awan panasnya berasal dari erupsi,” ujar Surono.
Awan panas guguran Rokatenda mengandung gas, abu halus, kerikil, hingga bongkahan batu seukuran mobil. Suhunya mencapai 600-800 derajat celsius. Awan panas itu bergerak menuruni lereng yang tak terlalu curam dengan kecepatan 100 kilometer per jam.
”Lokasi aliran awan panas ini bisa diperkirakan. Ia dapat terjadi di mana pun, termasuk di daerah yang belum pernah dilanda awan panas,” ujar Surono.
Mitigasi
Jumlah penduduk Pulau Palue, sesuai Sensus Penduduk 2010, sebanyak 9.559 jiwa yang menghuni daratan 41 kilometer persegi. Pasca-erupsi Rokatenda 12 Oktober 2012, sebanyak 2.754 jiwa diungsikan ke Pulau Flores. Jarak daratan terdekat dengan Palue ditempuh 2,5 jam hingga 3 jam dengan perahu motor.
Palue tak disarankan ditinggali. Selain ancaman gunung api, air bersih juga sulit. Sebagai gunung muda, lapisan tanah di Palue sangat tipis sehingga tak bisa menyimpan banyak air.
Jika terjadi erupsi lebih besar, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan TNI Angkatan Laut menyiagakan dua KRI untuk mengungsikan penduduk. ”BNPB tak bisa memaksa warga pindah ke luar pulau walau demi keamanan karena terkait persoalan hak asasi manusia dan pilihan masyarakat,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho.
Karena itu, penyiapan masyarakat dan pemerintah daerah menghadapi bencana mutlak diperlukan agar manusia senantiasa hidup selaras dengan alam.
Oleh: M Zaid Wahyudi
Sumber: Kompas, 16 Agustus 2013