Gerhana Matahari; Palembang Dibayangi Cuaca Tak Mendukung

- Editor

Rabu, 20 Januari 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Fenomena Gerhana Matahari Total yang hanya bisa dilihat dari daratan Indonesia dibayangi kekhawatiran cuaca buruk bulan Maret. Untuk itu, sejumlah persiapan dilakukan. Pemandangan yang jarang terjadi itu diharapkan menarik minat wisatawan.

Peneliti pada Pusat Teknologi dan Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Saipul Hamdi, Selasa (19/1), mengatakan, Palembang merupakan kota yang beruntung. Sebab, pada 9 Maret mendatang, Gerhana Matahari Total (GMT) akan muncul selama 1 menit 50 detik, plus minus 2 detik, dimulai pukul 07.20 WIB.

Tidak hanya Palembang, beberapa tempat lain, seperti kawasan Sungsang, Sekayu, Kayu Agung, Indralaya, dan Lubuk Linggau di Sumatera Selatan, juga akan mengalami Gerhana Matahari Total. “Lubuk Linggau menjadi daerah yang paling sedikit mengalami Gerhana Matahari Total, hanya 12 detik,” ujarnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Selain Sumsel, ada 12 kota lain yang akan dapat menikmati GMT itu, di antaraya Bangka Belitung, Palangkaraya, Ternate, Palu, Poso, dan Halmahera.

Meski demikian, ada beberapa permasalahan yang mungkin muncul, seperti cuaca buruk. Dikatakan Hamdi, Gerhana Matahari Total bisa saja terhalang awan atau cuaca buruk, seperti hujan deras. “Tidak hanya itu, bangunan tinggi di daerah perkotaan Palembang juga bisa menjadi penghalang. Oleh karena itu, diperlukan persiapan yang matang,” ucapnya.

Halangan terjadi saat tim peneliti Lapan mengamati pergerakan Matahari di atas Jembatan Ampera pada pukul 06.00 menggunakan teleskop otomatis buatan Jepang Vixen 200. Pandangan mereka terhalang awan mendung dan hujan deras.

Menurut rencana, pengamatan akan dilanjutkan keesokan harinya di tempat berbeda. “Kami ingin mencari sudut pandang yang tepat untuk memudahkan wisatawan menikmati fenomena langka ini,” ujar Hamdi.

Ancaman itu mungkin saja terjadi. Sebelumnya, Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Klimatologi Kenten, Palembang, Indra Purna mengatakan, potensi curah hujan pada bulan Maret masih tetap tinggi.

Kondisi itu merupakan dampak dari fenomena El Nino sehingga musim hujan mengalami kemunduran. “Kisaran curah hujan beragam, tetapi diperkirakan akan lebih tinggi ketimbang Februari,” ucapnya.

Menjaring wisatawan
Kepala Dinas Pariwisata Sumatera Irene Camelyn Sinaga mengatakan, Pemprov Sumsel benar-benar mempersiapkan fenomena langka itu sebagai salah satu cara menarik wisatawan. Beberapa langkah dilakukan, mulai dari penutupan Jembatan Ampera selama fenomena ini berlangsung. “Ampera akan dijadikan tempat bagi wisatawan untuk melihat GMT ini,” katanya.

Dikatakannya, sejumlah hotel pun telah menjadikan fenomena ini sebagai salah satu program wisata yang ditawarkan kepada wisatawan. Menurut rencana, selain melihat fenomena itu, akan dihadirkan pula sejumlah acara lain, seperti edukasi dan pertunjukan terkait mitos rakyat. “Akan dihadirkan pula pelepasan 1.000 lampion dan balon,” ucapnya.

Dana yang digunakan untuk menggelar acara itu berasal dari sejumlah pihak, seperti hotel, instansi, dan bantuan dari Kementerian Pariwisata. “Terus terang acara ini tidak masuk dalam anggaran pemerintah daerah sehingga dibutuhkan bantuan dari pihak lain untuk menyelenggarakannya,” kata Irene.

Saat ini pihaknya terus melakukan promosi ke beberapa provinsi, termasuk Bali. “Fenomena ini bertepatan dengan Nyepi sehingga kami berharap ada wisatawan dari Bali yang akan datang ke Palembang untuk menikmati fenomena ini,” kata Irene. (RAM)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Januari 2016, di halaman 14 dengan judul “Palembang Dibayangi Cuaca Tak Mendukung”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB