Beberapa ahli mengatakan, dalam gempa di Tohoku, 11 Maret 2011, Jepang kecolongan. Bayarannya mahal, yaitu korban jiwa lebih dari 8.000 orang dan lebih dari 12.000 orang tak jelas nasibnya. Kerugian material 15 triliun yen lebih. Gempa juga menyisakan ancaman radiasi nuklir.
Sejarah tak pernah mencatat: gempa Tohoku berkekuatan 9,0 magnitudo (M 9,0). Pada prediksi nasional bencana yang tiap awal tahun dikeluarkan Pemerintah Jepang disebut, gempa Miyagi berkekuatan maksimal M 8,0 mungkin 90 persen terjadi dalam 30 tahun.
Jadi, gempa itu sebenarnya telah diperkirakan. Gempa Miyagi terakhir terjadi 12 Juni 1978 berkekuatan M 7,4. Sebanyak 28 orang tewas. Moment magnitude atau magnitudo adalah besaran untuk besar energi yang dilepaskan seketika di pusat gempa, sedangkan skala Richter mengukur besar energi yang tercatat seismograf/magnitudo lokal).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jepang yang pengamatan gempanya termasuk terbaik di dunia—dengan jaringan 1.000 seismograf dan 1.232 sistem penetapan posisi global (GPS) yang kontinu mengirimkan data—ternyata meleset mengantisipasi gempa. Prediksi bencana nasional Jepang, energi yang akan dilepas segmen Sanriku—di daerah Tohoku itu—besarnya antara 7,5 momen magnitude (M 7,5) hingga M 8,0. Mengapa bisa terjadi perbedaan kekuatan yang demikian besar?
”Ini pertanyaan penting. Apakah karena tak ada data di daerah ini, ataukah yang tercatat hanya kecil kekuatannya?” kata ahli deformasi kerak bumi, Irwan Meilano dari Kelompok Keahlian Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung, pada konferensi pers di Bandung, Kamis (17/3). Fakta adanya perbedaan besar antara prediksi dan kejadian waktu itu merupakan pertanyaan penting. Harus dicari jawabannya karena amat berharga bagi ilmu pengetahuan.
Di Tohoku ada empat segmen, yaitu segmen Sanriku, Miyagi, Fukushima, dan Suruga. Segmen besarnya Sanriku dan Suruga. Dua segmen lainnya kecil-kecil. ”Segmen Sanriku amat terkunci,” ujar Irwan. Di sana terkumpul energi besar.
Gempa Tohoku—nama lengkapnya Tohoku Chihou Taiheiyou Oki Jishin, menurut Badan Meteorologi Jepang (JMA), merupakan gempa terbesar di Jepang. Sebelumnya terjadi gempa Kanto di dekat Tokyo berkekuatan 7,9 skala Richter (M 8,1). Gempa tahun 1923 itu menewaskan sekitar 140.000 orang.
Pertemuan tiga lempeng
Jepang adalah negara di mana di sejumlah daerah, gempa bumi merupakan ”makanan sehari-hari”. Mirip Indonesia, busur kepulauan Jepang terletak pada pertemuan tiga lempeng. Ketiganya adalah lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng laut Filipina.
Di arah timur laut Jepang, lempeng Pasifik menunjam di bawah lempeng Eurasia—tepatnya pada lempeng mikro Okhotsk. Di arah barat daya, lempeng laut Filipina menunjam di bawah Eurasia. Aktivitas ketiga lempeng itulah yang memicu banyak gempa bumi di Jepang.
Gempa Tohoku terjadi pada pertemuan atau bidang kontak antara lempeng Pasifik dan lempeng Eurasia pada daratan Jepang dari Miyagi di utara hingga ke selatan ke Fukushima sampai Ibaraki. ”Panjang bidang gempa sampai 450 kilometer dan lebar 200 kilometer,” ujar Irwan.
Gempa menyebabkan tsunami setinggi 10 meter. ”Menurut saksi mata, gelombang menyapu gedung berlantai tiga,” kata pakar seismologi, Hiroaki Yamanaka, dari Tokyo Institute of Technology, yang hadir pada konferensi pers. Dampak gempa Tohoku amat besar. Yamanaka turut menyesalkan, mengapa Pemerintah Jepang salah mengantisipasi kekuatan gempa yang telah mereka perkirakan akan terjadi dalam waktu dekat itu.
Semua segmen ”robek”
Mengapa gempa di Tohoku sedemikian besar? Menurut Irwan, rupanya bukan hanya segmen Sanriku yang bergerak. Dua segmen kecil di selatannya ikut ”robek”—melepas energi. Analisis Yamanaka sama.
”Ada yang lepas dari pengamatan kami. Kami tak memperkirakan ada pelepasan energi bersama. Tak pernah terjadi sebelumnya,” ujar Yamanaka.
Kejadiannya mirip di Aceh. Saat itu terjadi pergerakan di segmen Andaman disusul Nikobar. ”Selama ini kami mengira segmen-segmen itu independen, ternyata mereka bisa bersamaan ”robek”. Dampaknya di luar dugaan. Demikian pula di Tohoku. Saat Sanriku melepas energi, langsung disusul segmen Miyagi dan Fukushima,” ujar Irwan. Pertanyaan lain, ”Apakah segmen Nankai yang besar di Jepang selatan akan menyusul?
Tentang itu, Yamanaka mengakui, kita tak sepenuhnya memahami yang terjadi dalam bumi dan apa aktivitasnya. ”Kita harus berpikir kembali, apa yang akan terjadi nanti,” kata Yamanaka. [BRIGITTA ISWORO LAKSMI]
Sumber: Kompas, 21 Maret 2011