Gempa berkekuatan M 6,4 di Prefektur Kumamoto, Pulau Kyushu, Jepang, Kamis (14/4) malam, memiliki kekuatan dan karakteristik mirip gempa Yogyakarta pada 2006. Namun, tingkat kerusakan dan korban gempa di Jepang jauh lebih kecil daripada Yogyakarta yang menunjukkan pentingnya mitigasi dan pembangunan konstruksi tahan gempa.
Berdasarkan laporan Badan Meteorologi Jepang (Japan Meteorological Agency), pusat gempa pada koordinat 32,7 Lintang Utara dan 130,8 Bujur Timur, tepatnya 12 kilometer selatan Kumamoto dengan kedalaman hiposenter 10 km. “Berdasarkan kedalaman hiposenternya, gempa bumi kuat yang mengguncang Kumamoto dan sekitarnya ini merupakan jenis gempa bumi dangkal,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Daryono, kemarin.
Berdasarkan kedalaman hiposenter dan mekanisme sumbernya, gempa ini terjadi akibat aktivitas sesar aktif. “Dugaan kuat bahwa sesar Futagawa yang menjadi pemicunya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Guncangan di pusat gempa bumi mencapai skala intensitas VI-VII MMI. Tingginya guncangan disebabkan kondisi tanah berupa endapan lunak sehingga memperbesar daya gempa.
Mirip Yogyakarta
Ahli gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilano mengatakan, dari kekuatan gempa, kedalaman, hingga karakter tanahnya yang aluvial, gempa Jepang ini mirip dengan yang melanda Yogyakarta pada 2006. Namun, berbeda dengan di Yogyakarta yang menimbulkan kerusakan besar dan menewaskan ribuan orang, skala kerusakan dan jumlah korban di Jepang sangat kecil.
Berdasarkan data dari kantor berita AFP, korban tewas gempa di Jepang sebanyak 9 orang, 15 luka berat, dan 254 luka ringan. Bangunan yang rusak berat 19 unit.
“Pelajaran penting dari gempa Jepang ini adalah kita harus mewaspadai sesar darat, terutama di kota yang tanahnya aluvial, seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Jika terjadi di kota-kota ini, amplifikasi guncangannya bisa tinggi seperti pernah terjadi di Yogyakarta,” ujarnya.
Terakhir, saat Irwan dan tim melakukan pengeboran batuan dasar di Jakarta, ada yang kedalaman sampai 300 meter belum bertemu batuan dasar. “Ternyata batuan dasarnya lebih dalam dari yang kami kira dan sangat rentan jika terjadi gempa di sana,” ujarnya.
Irwan mengingatkan, rendahnya angka korban di Jepang dalam gempa kali ini, terutama karena negara tersebut telah menerapkan standar bangunan tahan gempa dengan baik.(AIK)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 April 2016, di halaman 14 dengan judul “Pelajaran Pentinguntuk Mitigasi Bencana”.