Flora dan Fauna; Penerimaan Negara Mencapai Rp 15 Miliar

- Editor

Minggu, 29 Januari 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Menurut data sementara, penerimaan negara bukan pajak dari pemanfaatan legal tumbuhan dan satwa liar mencapai Rp 15,15 miliar pada 2016. Pemerintah menjamin pendapatan itu didapat lewat batasan ketat agar tak mengorbankan kelestarian spesies tumbuhan dan satwa liar.

Kabinet Kerja menargetkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar Rp 50 miliar selama 2015-2019, atau Rp 10 miliar per tahun. Jadi, PNBP tahun lalu lebih tinggi Rp 5,15 miliar dari target. Capaian melebihi target tahunan konsisten sejak 2015 (Rp 18 miliar).

Dengan demikian, pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar berkontribusi pada pembangunan nasional. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjamin target pendapatan itu berdasarkan perhitungan untuk mempertahankan kelestarian spesies di alam. “Jangan mengira PNBP masuk, tapi alam tak dijaga,” ucap Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK Bambang Dahono Adji, di Jakarta, Jumat (27/1).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dari penerimaan total Rp 15,15 miliar, kontribusi terbesar dari ekspor Rp 9,56 miliar dan pemanfaatan domestik Rp 5,59 miliar. Perdagangan tumbuhan dan satwa liar ke luar negeri pada 2016 menyumbang devisa Rp 6,54 triliun, lebih tinggi dari target tahunan Rp 5 triliun. Devisa tahun 2015 sebesar Rp 5,46 triliun atau melampaui target.

Salah satu batasan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar ialah kepatuhan KLHK pada rekomendasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai otoritas keilmuan yang kajiannya menentukan kuota pengambilan suatu spesies di alam. “Kuota yang kami usulkan belum tentu diterima LIPI,” ujarnya.

Ekosistem
Menurut Kepala Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Hari Sutrisno, penentuan kuota perdagangan tumbuhan dan satwa liar memperhitungkan populasi spesies di alam dan dampak pada keseimbangan ekosistem. “Mungkin secara teori berjumlah banyak dan belum dilindungi, tetapi jika tak dikendalikan bisa berdampak ke ekosistem,” ucapnya.

Ia mencontohkan, ular jali atau ular tikus melimpah di Indonesia. Ular itu laku untuk bahan baku industri mode yang memanfaatkan kulitnya. Jika tak dikendalikan, penangkapan besar-besaran ular jali membuat jumlah hama tikus berlebih sehingga mengancam panen padi.

Contoh lain, katak sawah yang diambil berlebihan mengurangi predator bagi hama padi, misalnya beberapa jenis ngengat dan walang sangit. Dari survei LIPI, April 2016, Karawang, Jawa Barat, sebagai lumbung padi nasional menunjukkan areal sawah di daerah itu “miskin” katak sawah sehingga mengancam ketahanan pangan. Paha katak diekspor ke Malaysia dan Singapura untuk pakan ikan arwana.

Di sisi lain, lanjut Bambang, pemerintah mendorong penangkaran tumbuhan dan satwa liar. Penangkaran diharapkan memenuhi mayoritas permintaan tumbuhan dan satwa liar, sekaligus penerimaan dan devisa negara, untuk menekan pengambilan dari alam.

Penangkaran juga berkontribusi pada pelestarian. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19 Tahun 2005 mengamanatkan penangkar wajib mengembalikan minimal 10 persen spesimen tumbuhan dan satwa hasil penangkaran dari jenis dilindungi dan sesuai standar kualifikasi penangkaran ke habitat alaminya.

Pemerintah menargetkan, pada 2015-2019 ada 50 penangkaran. Pada 2015 ada 11 penangkaran dan pada 2016 ada 10 unit. Dari devisa total Rp 6,54 triliun pada 2016, sebesar 23 persennya dari ekspor tumbuhan dan satwa liar produk penangkaran. (JOG)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Januari 2017, di halaman 5 dengan judul “Penerimaan Negara Mencapai Rp 15 Miliar”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Berita ini 13 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB