Pasien hidrosefalus alias kepala air butuh tindakan operasi untuk mengalirkan banjir cairan di kepala dengan menggunakan pompa dan slang yang disebut sistem shunt. Dr dr Paulus Sudiharto SpBS adalah penemu sekaligus penyempurna sistem shunt yang kini digunakan oleh ribuan pasien hidrosefalus.
SEKARING RATRI A., Jogjakarta
Setiap orang memiliki kantong yang memproduksi cairan otak di kepala. Cairan itu berfungsi melindungi otak dan sumsum tulang belakang dari benturan sekaligus memberikan makanan kepada jaringan otak agar bisa bekerja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seperti rumah kita, kantong bernama ventrikel itu terdiri atas sejumlah ruang dan gang-gang penghubung antarruang. Bila gang itu tersumbat karena infeksi, toksoplasmosis, perdarahan, tumor, cedera kepala, atau kelainan genetika, cairan otak berkumpul dan mengakibatkan kepala membesar.
Berdasar data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dua di antara seribu bayi yang lahir di Indonesia berpotensi mengidap hidrosefalus. Penyakit tersebut tidak dapat diobati dalam kandungan. Karena itu, pasien hanya bisa segera diterapi setelah dilahirkan. Bila terlambat ditangani, sekitar 50-70 persen pasien meninggal karena infeksi berulang atau kegagalan pernapasan. Jika bertahan hidup, perkembangan otak dan fungsi indra pasien yang tidak mendapatkan terapi bisa terganggu. Bila demikian, pasien sepenuhnya bergantung kepada orang lain seumur hidup.
Namun, bila cepat diterapi, sekitar 51 persen pasien hidrosefalus tumbuh dengan kecerdasan normal dan 16 persen mengalami gangguan mental ringan. Angka kematian anak setelah terapi juga turun drastis, menjadi tujuh persen saja.
Untuk membendung cairan otak itu, dokter bedah saraf biasanya memasang pipa yang menghubungkan bagian otak yang tersumbat dengan bilik jantung atau rongga perut.
Pipa itu otomatis mengalirkan kelebihan cairan otak. Pipa bening berdiameter 0,5 mm tersebut akan terpasang seumur hidup di tubuh pasien.
Saat ini terdapat sekitar 90 jenis pipa shunt, yang mayoritas berbahan logam penutup berbentuk gelombang (longitudinal). Fungsi logam itu mirip dengan pompa yang membuang kelebihan cairan. Kelemahannya, pipa yang kebanyakan dibuat di Amerika Serikat, Jepang, dan Israel tersebut kerap tersumbat. Akibatnya, cairan otak yang telah dibuang bisa mengalir lagi ke rongga kepala.
Sudiharto akhirnya menyempurnakan alat tersebut. Pria kelahiran 14 Oktober 1941 itu membuat pompa berbentuk setengah lingkaran atau semilunar. “Karena bentuknya mirip dengan bulan pada tanggal 15, saya namakan semilunar. Biar lebih mudah diingat,” katanya. Meski hanya menyempurnakan bentuk pompa, temuan pria 68 tahun tersebut berdampak besar kepada pasien. Sumbatan yang lazim ditemui pascaoperasi pemasangan shunt tidak terjadi lagi. Katup semilunar juga efektif mencegah cairan otak mengalir lagi ke kepala dan membuat pasien nyaman meski di badannya terpasang sistem pompa.
Harganya juga lebih murah. Bila pipa dari luar negeri seharga Rp 5 juta, harga pipa buatan doktor jebolan Universitas Katolik Nijmegen di Belanda itu maksimal Rp 1,7 juta. Atas penemuan tersebut, Sudiharto mendapatkan gelar inovator terbaik bidang bedah saraf Indonesia pada Agustus tahun lalu. Alat itu juga sudah dipatenkan pada 3 September 2009.
Pria yang menetap di Jogjakarta tersebut sebenarnya berupaya menciptakan terapi untuk pasien hidrosefalus sejak masih menempuh program pendidikan dokter spesialis bedah saraf pada 1974. Saat itu Sudiharto menjadi asisten peneliti Prof Hardoyo yang juga meneliti pembuatan shunt hidrosefalus. Penelitian tersebut membuahkan hasil, tapi tidak membuatnya puas. “Karena terbuat dari logam, ukurannya besar, terlihat menonjol di kepala. Kasihan anaknya,” kenang dia.
Selain itu, sistem pompa buatan Hardoyo dan timnya mudah tersumbat. “Karena itu, saya mulai berpikir membuat sistem yang lebih baik,” terang alumnus FK Universitas Indonesia (UI) tersebut.
Pada 1977 dia memulai penelitian untuk disertasi tentang sistem katup semilunar. Hasilnya, tiga tahun kemudian dia menemukan sistem shunt dengan katup semilunar. Katup berbentuk setengah bulan itu dia buat mengikuti hukum mekanika fluida atas saran ahli fisika UGM (alm) Prof Ir Mugiono dan Prof Dr Ir Nur Yuwono dari Teknik Hidrologi UGM.
Sejak dikembangkan, inovasi Sudiharto digunakan oleh sekitar 7 ribu pasien dengan tingkat risiko kurang dari 2 persen. Angka tersebut lebih rendah daripada tingkat risiko pemasangan pompa cairan otak di luar negeri yang mencapai 2-4 persen. Sudiharto menyatakan lega karena terapi itu dapat membantu pasien-pasien hidrosefalus yang mayoritas berasal dari golongan tidak mampu.
Dia juga telah menyempurnakan lagi sistem pompa buatannya dengan menambahkan tonjolan antiselip. Tonjolan itu bertujuan mencegah bergesernya kateter. Jika alat tersebut bergeser, cairan otak yang sudah berada di perut terisap lagi ke rongga otak sehingga bisa mengakibatkan kematian pasien. Dia mengklaim sistem yang ditemukan itu terbukti aman dipasang pada bayi berusia sepuluh hari hingga pasien dewasa. Syaratnya, keadaan pasien stabil. “Asal belum terlambat, pemasangan sistem itu dapat membuat pasien hidup normal,” ucap dia. (*/c11/agm)
Sumber: Jawa Pos, 21 Juni 2010
tentang dr Paulus Sudiharto:
Nama | dr Paulus Sudiharto |
Tempat lahir | Bandung |
Tanggal lahir | 14 OKTOBER 1941 |
N I M | 3424 |
Jenis Kelamin | P |
Tahun Masuk | 1960 |
Tanggal Lulus | 1 APRIL 1968 |
Tahun Lulus | 1968 |
Gelar | dr, SP.BS, DR |
Guru Besar | |
Unit Kerja | Bagian Ilmu Bedah FK UGM |
Alamat Kantor | |
Telepon Kantor | |
Jabatan | |
Alamat Rumah | Tegalrejo TR III/328 Yogyakarta |
Telepon |
sumber: web alumni FK UGM