BILA musim hujan telah tiba dan orang kocar-kacir menghadapi banjir yang mulai melanda, penanggulangan banjir selalu jadi sorotan. Mulai dari upaya pemerintah yang dinilai tidak tuntas, hingga masyarakat yang tidak turut serta memelihara lingkungan. Semua itu muncul, tetapi kemudian diabaikan kembali bila kemarau tiba karena yang mencuat kemudian persoalan sulitnya air diperoleh.
Paling tidak, saat menghadapi persoalan air ini terngiang kembali berbagai upaya mengendalikan banjir sekaligus mengatasi krisis air di musim kemarau. Tak banyak yang membahas dengan menoleh pada kearifan tradisional warisan nenek moyang. Yang justru lebih banyak muncul ialah upaya penanggulangan dan pelestarian berpedoman pada ilmu dan teknologi dari negara maju.
Kondisi ini banyak ditemui di kota yang makin padat sehingga ruang penampung air yang membanjir untuk cadangan di musim kering tak mudah dilakukan. Jalan keluar yang banyak diambil justru bagaimana menyalurkan air melalui drainase agar cepat dan lancar mengarah ke laut. Upaya ini tak diimbangi pemeliharaan saluran agar tidak tersumbat sampah yang menggunung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kondisi itu membuat Dr Ir Sunjoto, stat pengajar Fakultas Teknik UGM (Universitas Gadjah Mada) membuat terobosan ketekniksipilan khususnya teknik drainase. Terobosan itu dilakukan mengingat konsep drainase selama ini mengacu ke negara maju yang hampir semua terletak di daerah subtropis.
Dalam teknik drainase ini, para ahli di Indonesia lupa bahwa secara hidrologis maupun sosial, keadaannya jauh berbeda. Sebagai contoh secara hidrologis hujan di kawasan subtropis merata sepanjang tahun hingga kemungkinan persentase air meresap ke dalam tanah semakin besar. Lain di Indonesia, hujan hanya dalam kurun waktu enam bulan.
SEJAK lulus sebagai sarjana teknik sipil di UGM tahun 1973, Sunjoto yang lahir di Magetan, Jawa Timur, 30 Juli 1947 mulai tertarik pada ilmu keairan (hidrologi). Karena itu, sebelum kembali ke kampus sebagai dosen, ia bekerja pada PT Waskita Karya dan terlibat Proyek Sempor. Sejak itu perhatiannya diarahkan pada keairan dan lingkungan hidup serta pematangan jiwa dalam hubungan antar manusia sebagai bekal dalam memberi perhatian buat masyarakat.
Bidang keairan ditekuninya dengan mengambil spesialisasi di IHE (International Institute of Hydraulic Environmental Engineering). Delft, Nederland, hingga meraih gelar Dip. HE (Diplome of Hydraulic Engineering). Kemudian melanjutkan di Perancis pada Ecole Nationale Travaux Publique di Lyon dan program S2 pada Universite Joseph Fourier di Grenoble dengan degri DEA (Diploma d’Etude Approfondies, setara S2 Indonesia). Di universitas yang sama melanjutkan S3 dengan tesis aliran air melalui media porus terutama bahan fibre dan mendapat degri Dr.Ir (Docteur d’Ingenieur) Juli 1986.
Dengan bekal pengetahuannya itu ia melihat konsep perancanganr drainase saat ini bertentangan dengan jiwa pelestarian lingkungan. Menurut Sunjoto, pengelolaan air yang berfilosofi kawasan, harus bebas dari genangan air dengan menarik ke sistem jaringan, dan mengalirkan ke sungai lalu ke laut. Konsep itu pada dasarnya menyelesaikan masalah, tetapi sekaligus menciptakan problem baru. Penanganan seperti itu berarti penghamburan air, sekaligus penyebab sumber daya terbengkelai.
Karena itu dirancang sumur resapan air yang membuat pengelolaan air tetap mempertahankan genangan air, dan memanfaatkannya sebagai sumber daya. Rancangan yang mudah dilaksanakan dengan biaya relatif murah sekitar Rp 100.000/sumur sedalam delapan meter, pertama kali diterapkan di DI Yogyakarta. Lalu menyusul DKI Jaya, Jabar dan Jateng. Diharapkan, upaya itu mampu memperbaiki kondisi air tanah di DIY yang dalam kurun waktu 25 tahun menyusut enam meter. Rancangannya itu yang membuatnya memperoleh penghargaan Kalpataru bulan Juni 1995 lalu.
PERHATIAN Sunjoto pada keairan’. bukan hanya meljhat Yogakarta yang 95 persen penduduknya memenuhi kebutuhan air bersih dari sumur gali. Tapi kondisi sebagian wilayah Indonesia yang bakal menghadapi krisis air. Pada tahun 2000, tanpa upaya pelestarian, Pulau Jawa dan Madura serta perkotaan di luar kedua pulau itu mengalami defisit air 50 persen. Ancaman serupa menyusul di Bali, Lombok, dan wilayah Nusa Tenggara lainnya.
Dengan pengelolaan sistem drainase air hujan yang berwawasan lingkungan dipadu dengan usaha lain seperti reboisasi, terasering, teknik bertanam yang benar, pola konsumsi air, serta pengendalian pertumbuhan penduduk, kekhawatiran itu tidak perlu terjadi. Apalagi November lalu terbukti sistem drainase itu meningkatkan kualitas air pada permukaan air tinggi seperti air payau.
Dengan upaya itu, Sunjoto ingin mengingatkan teknologi nenek moyang sebenarnya sudah maju dan arif. Hal ini diekspresikan dengan ”tabu” menimbun sumur yang tidak berfungsi karena bisa dimanfaatkan menampung air hujan. Tapi, kebiasaan di pedesaan seperti membuat lubang di halaman yang secara teknis dapat diterjemahkan sebagai retarding basin dan sekaligus berfungsi sebagai artificial recharge, mulai ditinggalkan karena desakan kebutuhan lahan pemukiman. Manfaat sistem itu sudah lama dirasakan. Paling tidak, dari pengamatan terjadi penurunan muka air tanah lebih kecil di daerah yang menggunakan sumur peresap. Misalnya, penurunan muka air sumur gali yang tidak dilengkapi PAH dalam setahun lebih tinggi 40 cm dibanding sumur gali yang dilengkapi PAH.
Dengan mempelajari teknis konstruksinya, cara pembuatan, maupun pemeliharaan serta harga murah –di bawah 1 persen harga bangunan— dan tidak harus menjadi beban pemerintah, keuntungannya nyata. Apalagi kontribusi menekan defisit air sebesar 16 persen dari defisit 53 menjadi 37 persen bila 70 persen penduduk Jawa/Madura mengaplikasikan PAH tersebut.
FALSAFAH ”dalam kesederhanaan tersimpan suatu keberdayaan” menunjukkan kepada Sunjoto kemampuan teknologi nenek moyang sejak zaman dahulu sebagai kearifan memelihara dunia. Ditambah lagi peninggalan sejarah yang menempatkan Yogyakarta sebagai pusat peradaban membuatnya memberi perhatian pada perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Upaya itu diwujudkan dengan ikut melahirkan YAS (Yogyakarta Academic Science) pertengahan November lalu.
Kelahiran YAS sama sekali tak sama dengan organisasi masyarakat yang tumbuh marak mewarnai politik akhir-akhir ini. YAS sudah lama digagas dan ditunda saat hendak dicetuskan karena muncul PCPP dan ormas lainnya. Sedang keberadaannya lebih pada kegiatan operasional keilmuan untuk mewadahi ilmuwan yang benar-benar bermaksud memasuki dunia global ilmu pengetahuan.
Tujuannya tidak lain agar ilmuwan Indonesia tidak terkungkung ilmunya sendiri yang bisa menimbulkan arogansi keilmuwanan. Kurangnya komunikasi antar ilmuwan diusahakan diwadahi oleh YAS agar terjadi interaksi antara ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu itu dilakukan dengan memberi informasi perkembangan bidang ilmu lain. Termasuk informasi tentang cara menulis pada jurnal ilmu pengetahuan di tingkat internasional. Karena terasa kurangnya publikasi tulisan ilmuwan Indonesia lebih disebabkan karena tidak tahu.
Kehadiran YAS juga diharapkan mampu menciptakan sistem dalam hubungan antara industri dan perguruan tinggi agar ilmuwan Indonesia mampu berkiprah dengan baik di dunia internasional. Sehingga saat menghadapi era globalisasi 2030, mendatang, ilmuwan bisa mengembangkan riset bermanfaat bagi dunia industri. Akibat lanjutannya industri di Indonesia tak hanya bisa menjiplak sesuatu yang tidak—mungkin lagi dilakukan kelak.
Kesederhanaan putra purnawirawan prajurit TNI-AU Soekirman dan wanita desa Paniyem yang menikahi Dra Sumartati Apt dan dikaruniai tiga anak –Paramasinta Sitaresmi (21 th) mahasiswi Fak. Ekonomi UGM, Danang Kuncoro Sakti (19 th) mahasiswa Fak. Kehutanan IPB Bogor dan Niken Astari N (15 th) siswa kelas 2, SMA 8 Yogyakarta ini membuatnya memberi perhatian lebih pada kearifan tradisional. Karena itu, menghadapi fenomena banjir yang dampaknya terasa setiap tahun, ia lebih banyak mengajak semua pihak kembali pada teknologi warisan nenek moyang. Dengan itu, teknologi yang diterapkan akan lebih berwawasan lingkungan. (Dirman Thoha)
Sumber: KOMPAS, SABTU, 13 JANUARI 1996