Ketergantungan pada satu komoditas yang dominan akan terlalu berisiko pada sumber perekonomian sekaligus ketahanan pangan daerah.
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI–Sebuah alat berat dioperasikan guna menumbangkan ribuan batang kelapa sawit untuk dijadikan areal sawah di Desa Jati Baru, Kecamatan Bunga Raya, Siak, Riau, Jumat (20/9/2019).
Diversifikasi pangan di desa-desa sawit di Riau sangat rendah. Lahan-lahan masyarakat setempat yang hanya ditanami dengan tumbuhan monokultur berisiko tinggi karena ketergantungan harga pada pasar serta tidak memiliki cadangan pangan apabila suplai logistik terganggu seperti saat pandemi Covid-19 sekarang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal ini menjadi salah satu kesimpulan pada hasil kajian Yayasan Madani Berkelanjutan akan analisis data akan kondisi di Riau beserta tujuh kabupaten yang memiliki kebun sawit terluas setempat. Hasilnya, empat dari tujuh kabupaten termasuk rawan pangan. Daerah yang memiliki ketahanan pangan itu pun masuk kategori sedang (Siak) dan rendah (Pelalawan dan Rokan Hilir). Riau merupakan provinsi dengan kebun sawit terluas di Indonesia.
Dari kajian Madani, Siak memiliki luas perkebunan sawit 86 persen dibandingkan luas pertanian yang berupa ladang, sawah, dan tegalan. Luas kebun sawit Pelalawan menguasai 80 persen dibandingkan luas pertanian dan Rokan Hilir 70 persen.
”Kesejahteraan masyarakat dan ketahanan pangan perlu digantungkan pada keberagaman komoditas dan keseimbangan tingkat produksi antarkomoditas perkebunan dan pertanian yang diusahakan oleh masyarakat,” kata Intan Elvira, peneliti muda Madani, pada diskusi virtual, Rabu (6/5/2020).
YAYASAN MADANI BERKELANJUTAN–Riau sebagai provinsi dengan kebun sawit terluas di Indonesia memiliki ketahanan pangan rendah. Ini salah satu hasil studi Yayasan Madani Berkelanjutan yang dipaparkan pada 6 Mei 2020 secara virtual.
Ia melanjutkan pilihan untuk bergantung pada satu komoditas yang dominan akan terlalu berisiko pada perekonomian dan ketahanan daerah. Diversifikasi komoditas dapat dijadikan alternatif untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan ketahanan pangan kabupaten tersebut.
Apalagi tata niaga sawit di tingkat tapak belum memberi keadilan bagi masyarakat. Dari sisi harga, tandan buah segar di tingkat petani harganya ditentukan oleh penampung sebelum dikirim ke pabrik kelapa sawit (PKS).
Menanggapi sisi ketahanan pangan ini, Vera Virgianti dari Dinas Perkebunan Provinsi Riau mengatakan, perusahaan perkebunan kini diwajibkan untuk menanam tanaman selang, seperti padi gogo dan palawija. Ia pun mengatakan, Riau mengalokasikan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) yang diwajibkan oleh undang-undang, yakni seluas 87.000 hektar. Namun, diakui baru 62.000 hektar yang eksisting dan itu pun belum optimal.
”Jadi, di Riau memang akan sulit menanam padi karena sebagian besar rawa. Kita bisa menanam, tapi produktivitasnya rendah. Jadi, dominasi sawit tidak ada hubungannya dengan ketahanan pangan,” katanya.
Wan Muhammad Yunus, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Siak, mengatakan, masyarakat melihat tren dan prospek ekonomi dalam menentukan jenis tanaman. Itulah mengapa, lanjutnya, di masa lalu masyarakat berbondong-bondong mengubah kebun karet menjadi kebun sawit karena tergiur harga yang menjanjikan.
Bahkan terdapat sawah yang dicetak pemerintah juga diubah menjadi kebun sawit. Ia menyebutkan, di Bunga Raya yang kini masih terdapat 4.000 hektar sawah, masyarakatnya kembali mulai mengganti tanaman sawit menjadi padi. Ia menyebut, terdapat 200 hektar kebun sawit diubah kembali menjadi sawah.
”Dengan banyaknya perhatian pemerintah terhadap lahan sawah, mendorong masyarakat untuk menanam padi,” ujar Yunus.
Ia pun mengatakan, lahan gambut setempat bisa ditanami dengan padi meski membutuhkan pendekatan teknologi serta bibit yang tepat. Malahan, menurut dia, lahan gambut lebih mudah ditanami padi daripada sawit.
Pramono Hadi, Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengatakan, pemanfaatan gambut sebagai sawah sangat berisiko. Ini karena bakal terjadi subsidensi atau gambut menjadi kempes sehingga daerah tersebut menjadi genangan yang akan membuat tanaman padi mati karena terlalu lama terendam.
Ia mengakui, pada lahan gambut dengan ketebalan tipis masih memiliki prospek digunakan sebagai sawah. Namun, menurut dia, pada saat kemarau bisa terjadi kebakaran sehingga memengaruhi pada pemiskinan unsur hara dan penurunan produktivitas.
Direktur Eksekutif Madani Muhammad Teguh Surya mengatakan, Riau yang memiliki 3,4 juta hektar kebun sawit memunculkan persepsi hal tersebut berkontribusi pada kesejahteraan, peningkatan ekonomi, dan pembangunan desa. Namun, ternyata, dari kajiannya, terdapat fakta berupa kemiskinan, bencana ekologis, dan rawan pangan.
”Riau itu provinsi dengan sawit terluas, tapi tingkat kesejahteraannya masih rendah dan miskin. Selama ini, sawit dianggap penting, sekian juta orang bergantung dan kita eksportir utama sawit di dunia. Namun, desa-desanya masih miskin dan rawan pangan. Ini pasti ada yang salah,” tuturnya.
Ia berharap kajian Madani ini bisa menjadi masukan dan dasar bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menjadi model pendekatan baru bagi arah pembangunan ekonomi, khususnya yang berbasis lahan, termasuk melakukan diversifikasi produk dengan tidak menggantungkan pada monokultur yang sangat rawan dari banyak sisi.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 6 Mei 2020