Daya saing bangsa yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dan berbasis inovasi teknologi mengandalkan kontribusi perguruan tinggi yang mumpuni.
Direktur Pendidikan Tinggi, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Kebudayaan, Badan Perencanaan dan Pengembangan Pembangunan Nasional, Amich Alhumami, yang dihubungi dari Swedia, Kamis (26/10), mengatakan, banyak faktor penyumbang yang menentukan daya saing sebuah bangsa. Indonesia fokus di empat pilar pokok, yakni infrastruktur, pendidikan tinggi, kesiapan teknologi, dan inovasi.
Amich menjelaskan, ekonomi Indonesia akan bergerak maju apabila infrastruktur tersedia memadai untuk memudahkan transaksi ekonomi. Indonesia bisa keluar dari jebakan middle income economy atau negara berpendapatan sedang jika angkatan kerjanya berpendidikan tinggi, yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta terampil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Lulusan PT diasumsikan punya kecerdasan kognitif tinggi, mahir, dan punya social skills yang bagus sehingga bisa kerja di white-collar jobs, atau di tingkat manajer ke atas dengan pendapatan tinggi. Mereka juga akan menjadi kekuatan penggerak ekonomi sekaligus pembayar pajak,” ujar Amich.
Menurut dia, ekonomi akan tumbuh berkelanjutan jika didorong inovasi dan teknologi. Negara maju bertumpu sepenuhnya pada ekonomi berbasis inovasi dan teknologi. “Semua ini bisa lahir dari orang terdidik yang lahir dari PT,” ujar Amich.
Riset inovatif
Karena itu, ujar Amich, pemerintah perlu membangun infrastruktur iptek di PT untuk memacu ilmuwan dan peneliti melakukan riset-riset inovatif dan menciptakan inovasi. Riset inovatif dan inovasi di PT harus dapat diarahkan untuk kepentingan bisnis dan komersial.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Pengkajian dan Implementasi Sistem Manajemen Mutu Pendidikan Tinggi (Puslapim) Willy Susilo mengatakan, generasi muda harus disiapkan kompetensinya untuk menghadapi perkembangan yang terjadi saat ini dan masa depan.
“Sayangnya, banyak PT yang belum mampu mengakomodasi pengembangan kompetensi dalam peran PT di pembelajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat,” ujar Willy.
Menurut dia, rumusan capaian pembelajaran lulusan (CPL) dalam kurikulum seharusnya menggambarkan proyeksi pengembangan kompetensi. Namun nyatanya PT belum melakukan secara efektif.
Yang terjadi di banyak PT, CPL belum berlandaskan konsep link and match serta dibuat tanpa kajian. Kurikulum hanya menjadi dokumen mati, tidak difungsikan sebagai cetak biru untuk membangun kompetensi lulusan
Hal lainnya, orientasi program studi lebih mengisi kompetensi dimensi teori/pengetahuan, tapi ompong dari sisi keahlian dan sikap. “Momentum bonus demograsi juga tidak dijadikan acuan untuk evaluasi relevansi kompetensi di masa depan 2020- 2030,” ujar Willy.
Rektor Universitas Padjadjaran Tri Hanggono Achmad mengatakan, PT perlu mengembangkan inovasi agar dunia akademik berkontribusi secara nyata dalam pembangunan bangsa dan perkembangan dunia. “PT harus mencari keunggulannya. Dengan keunggulan yang beragam dari PT Indonesia, akan banyak kontribusi ilmuwan dan lulusannya bagi bangsa,” kata Tri. (ELN)
Sumber: Kompas, 27 Oktober 2017