CP-SAR untuk Satelit

- Editor

Selasa, 20 Desember 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

llmuwan Indonesia di Jepang Beri Keunggulan
Ilmuwan Indonesia di Universitas Chiba Jepang, Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, membangun sensor radar yang bakal dipasang di satelit mikro buatan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional RI. Itu akan jadi sensor Circularly Polarized-Synthetic Aperture Radar atau CP-SAR pertama di dunia yang dipasang di satelit.

”Satelit selama ini menggunakan SAR konvensional yaitu Linear Polarized SAR (LPSAR),”kata Josaphat guru besar penginderaan jauh gelombang mikro di Universitas Chiba, dihubungi dari Jakarta, Minggu (18/12).

Sensor SAR dapat menembakkan gelombang mikro dan menerimanya kembali untuk diolah menjadi citra radar, yang bisa beroperasi siang ataupun malam. Sensor optik, seperti kamera, hanya mampu membantu mengetahui informasi permukaan Bumi, sedangkan sensor SAR bisa untuk informasi di bawah permukaan Bumi, tergantung kondisi permukaan dan gelombang mikro yang digunakan sensor.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut dia, CP-SAR bekerja pada gelombang L band atau 1,275 giga hertz, dengan panjang gelombang 23 cm. Gelombang itu sanggup menembus awan sehingga cocok untuk pemantauan wilayah Indenesia yang kerap tertutup awan. Gelombang juga bisa menembus kabut, asap, hutan, bahkan kedalaman tanah hingga beberapa meter.

L band adalah gelombang dengan frekuensi terendah sehingga lebih panjang dibandingkan gelombang lain berjenis C, X, dan Ku band. Dengan demikian, antena yang dibutuhkan untuk gelombang L band merupakan yang terpanjang dibanding yang lain, berkisar 10-12 meter. Namun, Josaphat mengembangkan rancangan agar antena lebih ringkas, sepanjang 3,6 meter. Itu mengurangi bobot SAR, kurang dari 100 kilogram atau 10 persen lebih ringan dibanding SAR termutakhir yang sudah ada saat ini.

Keunggulan
Keunggulan sensor radar dengan putaran hantaran gelombang melingkar (Circular polarization) itu mampu mengurangi pengaruh getaran pesawat pembawa radar serta pengaruh rotasi Faraday yang biasanya menyebabkan gelombang mikro berotasi di ionosfer.

“Citra CP-SAR lebih baik dan akurat dibanding citra LP-SAR dengan putaran hantaran gelombang Iinier,” kata Josaphat yang pernah menjadi peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi itu.

Keunggulan lain, CP-SAR bias dibawa satelit mikro berbobot 100-150 kg, sedangkan SAR konvensional dibawa satelit berbobot 1.000 kg. Satelit buatan Lapan yang akan memuat CP-SAR adalah LAPAN-A5/LAPAN-CHIBA-Sat. Itu akan menjadi satelit mikro pertamadi dunia yang membaw sensor radar.

Kepala Pusat Teknologi Satelit Lapan Abdul Rahman mengatakan, Lapan menyiapkan bus satelit atau bagian satelit yang membawa muatan, serta menyediakan energi listrik, fungsi komputer, propuIsi, kendali sikap, membuat satelit dapat berkomunikasi dengan stasiun bumi darat. Lapan juga menyiapkan misi yang akan dijalankan,memanfaatkan CPSAR Josaphat.

JOSAPHAT MICROWAVE REMOTE SENSING LABORATORY–Satelit mikro berbobot 150 kilogram dengan muatan Circularly Polarized-Synthetic Aperture Radar (CP-SAR), Kamis (16/12/2016), di Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory (JMRSL), Universitas Chiba, Jepang. Ini satelit mikro pertama yang membawa sensor radar.

”Misi SAR ini menjawab kendala pengamatan wilayah Indonesia hampir sepanjang tahun,” ujarAbdul. Misi takkan lagi terkendala kondisi awan dan malam hari. Untuk 2017, targetnya perancangan awal serta pengkajian rancangan konsep satelit LAPAN-A5. Target meluncur tahun 2021. Saat ini, Lapan masih menyiapkan model teknis muatan CP-SAR.

Saat di antariksa, LAPAN-A5 bakal bergerak dengan lintasan polar (dari kutub utara ke selatan), mengelilingi Bumi dengan orbit bulat. Satelit ini bakal ada di ketinggian sekitar 570 kilometer dan sudut inklinasi 97,4 derajat. Bobotnya 150 kg dan berdimensi sekitar 50 cm x 70 cm X 80 cm.

Satelit mengelilingi Bumi dua jam sekali. Satelit berada di atas wilayah Indonesia setiap empat-enam hari sekali. (JOG)

Sumber: Kompas, 19 Deseember 2016

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Berita ini 90 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB