Masyarakat adat Muara Tae, Kalimantan Timur, meraih Equator Prize. Upacara resmi penyerahan penghargaan itu diadakan Program Pembangunan PBB (UNDP), 7 Desember lalu, di Paris. Sambutan di Mogador Theatre menyuarakan perjuangan komunitas lokal dalam menyelamatkan alam demi keadilan bagi generasi mendatang.
Sabtu siang, 12 Desember. Di depan Gereja Notredame, Paris, Perancis, rombongan besar masyarakat adat dari berbagai belahan dunia menyampaikan penegasan. “Kami ialah ‘garis merah’ yang kami buat dengan tubuh kami, membatasi privatisasi sumber daya alam, penggunaan bahan bakar fosil, dan perubahan iklim,” seru Tom Goldtooth, Direktur Eksekutif Jaringan Lingkungan Masyarakat Adat.
Masyarakat adat telah tersisih dalam urusan mitigasi. Pengelolaan hutan dan lautan bakal masuk dalam ranah komodifikasi ekonomi. Gas rumah kaca (GRK) netral pada 2050 mensyaratkan adanya teknologi baru untuk menyerap emisi GRK. Jadi, semua solusi yang tak bicara soal menahan karbon di sumbernya jadi solusi salah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat ini, sekitar 70 persen masyarakat adat di seluruh dunia belum mendapat pengakuan hak: hak budaya dan hak atas tanah yang secara turun-temurun mereka kuasai dan kelola dengan cara ramah lingkungan.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN–Orang Rimba kelompok Kedundung Muda berjalan di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, beberapa waktu lalu. Taman nasional itu menyediakan sumber pangan melimpah bagi komunitas adat Orang Rimba atau Suku Anak Dalam. Masyarakat adat dan komunitas lokal selama ini tersisih dalam pembangunan. Hak-hak mereka pun belum terpenuhi, padahal mereka rentan terdampak perubahan iklim.
Bahkan, ancaman kenaikan muka air laut yang memaksa mereka pindah melahirkan hak baru, yaitu pindah dengan bermartabat. Sejauh ini, itu belum ada klausulnya. Sebaliknya, kisah masyarakat adat di berbagai belahan bumi ialah penggusuran, penyiksaan fisik, penangkapan, dan pembunuhan oleh aparat pemerintah atau swasta.
Dalam aksi mitigasi atau pengurangan risiko, peran mereka tak diakui. Mitigasi dijelaskan sebagai penyerapan emisi agar netral dengan berbagai cara.
Hutan dan energi
Indonesia, dengan sekitar 17 juta warga dalam komunitas adat dan yang tinggal di sekitar hutan, punya pekerjaan besar. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) harus bisa menerapkan pernyataan Presiden Joko Widodo, “Tidak ada pekerjaan yang tak bisa dikoordinasikan”.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Dalam Negeri dengan koordinator Menteri LHK harus mengubah paradigma.
Yang mendesak setelah rawa gambut adalah menyelesaikan kasus tenurial dan menertibkan perizinan disertai penegakan hukum yang tegas dan adil. Koordinasi juga harus berjalan baik dengan setingkat menteri ataupun pimpinan tingkat subnasional. Jangan ada lagi raja kecil. Jadi, peran Komisi Pemberantasan Korupsi amat dibutuhkan karena urusan sumber daya alam rentan korupsi.
Selain itu, jangan ada lagi kriminalisasi masyarakat adat atau lokal. Hingga kini, satuan tugas yang dibentuk Kementerian LHK belum menunjukkan terobosan jalan keluar atas masalah itu. Jawaban usang ialah, “Masih diteliti dan dipilah”.
Sejauh ini, masyarakat lokal terpinggirkan. Pertanyaan besar muncul didasari fakta yang terjadi di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim 2015 di Paris. Masyarakat adat dan komunitas lokal yang diinventarisasi dan dibanggakan sebagai praktik baik adaptasi dan mitigasi hanya mendapat porsi kecil untuk manggung.
Sementara para pengusaha perkebunan dan pegiat ekonomi berbasis lahan lain yang perannya dalam mitigasi kebakaran hutan dipertanyakan malah mendapat porsi besar. Tiap hari ada dua atau tiga diskusi. Itu tak sebanding. Para pengusaha itu mampu membiayai diri sendiri untuk ke Paris, sedangkan masyarakat lokal tergantung dana pemerintah ataupun donor.
Masalah energi jadi rumit saat pemerintah terus menunda dan tak ada kebijakan jelas energi terbarukan. Karena itu, perlu riset yang konvergen. Cara pandang memakai pendekatan pembangunan serba besar dan masif perlu dirombak. Penyelesaian soal pangan dengan food estate melahirkan soal baru. Business as usual sama artinya mengekor negara-negara maju.
Tanpa menuntaskan elemen ke-13 terkait aksi nyata mengatasi perubahan iklim pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), kesejahteraan tak akan tercipta. Dua perahu yang disediakan dunia internasional tak akan mampu membawa kesejahteraan. Sebaliknya, banyak yang akan ketinggalan kereta kesejahteraan bernama SDG. Tanpa menyertakan masyarakat adat, persoalan akan bertambah.—-BRIGITTA ISWORO L
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Desember 2015, di halaman 14 dengan judul “Perahu Wujudkan Kesejahteraan”.