Masyarakat Adat Kayan Mentarang Raih Penghargaan Equator

- Editor

Sabtu, 6 Juni 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Forum Musyawarah Masyarakat Adat Taman Nasional Kayan Mentarang meraih Penghargaan Equator atau the Equator Prize 2020. Forum ini menyatukan 11 kelompok masyarakat adat dan mengadvokasi hak-haknya di Kalimantan Utara.

KOMPAS/DANU KUSWORO (DNU)—Taman Nasional Kayan Mentarang di Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

The Equator Initiatives, Jumat (5/6/2020) mengumumkan Forum Musyawarah Masyarakat Adat Taman Nasional Kayan Mentarang atau FoMMA sebagai peraih Penghargaan Equator atau the Equator Prize 2020. Perayaan pemberian penghargaan akan dilakukan secara daring pada September 2020 bersamaan dengan kegiatan Climate Week yang digelar pararel bersama sidang Majelis Umum dan Konferensi Tingkat Tinggi Alam PBB.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam keterangan pada website the Equator Initiatives, FoMMA telah menyatukan 11 kelompok masyarakat adat dan mengadvokasi hak-hak masyarakat yang tinggal di atas tanah adat seluas 20.000 kilometer persegi di Kalimantan Utara. Sebagian besar tanah leluhur mereka, terutama terdiri dari hutan dan sungai, tumpang tindih dengan Taman Nasional Kayan Mentarang.

Meet the winners of the Equator Prize 2020

Pengelolaan kawasan konservasi tersebut disebut-sebut merupakan taman nasional pertama di Indonesia yang ditempatkan di bawah pengaturan manajemen kolaboratif. pemerintah dan otoritas adat, diwakili oleh FoMMA. Mereka memutuskan bersama tentang pengelolaan sumber daya serta akses tradisional dan hak guna, mempromosikan pengelolaan lokal atas taman nasional.

FoMMA telah mendukung masyarakat untuk mendokumentasikan dan memetakan lebih dari 20.000 kilometer persegi wilayah adat. Pada 2019, mereka mendapatkan pengakuan hukum untuk blok pertama 2.500 kilometer persegi hutan adat di bawah hukum nasional.

Komunitas FoMMA menghidupkan ekonomi lokal berbasis hutan tradisional, dan melindungi petak besar hutan hujan. Langkah ini selain untuk mempertahankan cara hidup tradisional juga sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.

KOMPAS/DEONISIA ARLINTA—Melud Baru (73), tetua adat dari salah satu suku Dayak di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara menjelaskan kisah yang terjadi di wilayah Pa’rupai, Kalimantan Utara. Kekayaan alam dan cerita budaya serta sosial di daerah tersebut menjadi salah satu potensi ekowisata yang akan dikembangkan.

Selain FoMMA, sembilan komunitas adat lain di belahan dunia juga memperoleh penghargaan tersebut. “Masing-masing dari 10 pemenang mewakili inisiatif masyarakat dan adat yang luar biasa yang memajukan solusi berbasis alam untuk pembangunan berkelanjutan lokal,” bunyi pengumuman dalam situs the Equator Initiatives, Jumat.

Kesepuluh pemenang ini diseleksi dari usulan 583 nominasi yang berasal dari 120 negara di seluruh dunia. Proses seleksi dan penilaian ini dilakukan para pakar internasional dalam beberapa bulan terakhir.

Berikut pemenang Equator Prize lainnya. Di wilayah Asia, komunitas masyarakat Kareng pada Salween Peace Park (Myanmar) dan Bon Rueang Wetland Forest Conservation Group (Thailand).

Wilayah Amerika Latin dan Karibia yaitu Asociación de Forestería Comunitaria Utz Che’ (Guatemala), Alianza Ceibo (Ekuador), dan Mujeres y Ambiente SPR de RL de CV (Meksiko). Di wilayah Subsahara dan Afrika terdapat Vie Sauvage (Republik Demokratik Kongo), Nashulai Maasai Conservancy (Kenya), dan Vondron’Olona Ifotony Tatamo Miray an’Andranobe (Madagaskar). Di wilayah utara global, penghargaan diberikan kepada ?utsël K’e Dene First Nation (Kanada).

The Equator Prize atau Penghargaan Equator yang diselenggarakan oleh Equator Initiative dalam UNDP, diberikan dua tahun sekali untuk mengakui upaya masyarakat yang luar biasa untuk mengurangi kemiskinan melalui konservasi dan penggunaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. Ketika inisiatif masyarakat yang berkelanjutan berakar di seluruh daerah tropis, hal ini meletakkan fondasi bagi gerakan global keberhasilan lokal yang secara kolektif memberikan kontribusi untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Ketika kelompok-kelompok lokal dan pribumi di seluruh daerah tropis menunjukkan dan memberikan contoh pembangunan berkelanjutan, Penghargaan Equator menyoroti upaya mereka dengan merayakannya di panggung internasional.
Oleh ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 6 Juni 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 10 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB